.quickedit{ display:none; }

cctv

Selasa, 17 Mei 2016

Morowali Utara, Kabupaten Baru di Provinsi Sulawesi Tengah



Berdasarkan Undang - undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Kabupaten Morowali Utara di Provinsi Sulawesi Tengah.

Ibu Kota Kabupaten Morowali Utara ( MorTara ) berkedudukan di Kolonodale Kecamatan Petasia.

Kabupaten Morowali Utara berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Morowali yang terdiri atas cakupan wilayah:

a. Kecamatan Petasia;
b. Kecamatan Petasia Timur ( Pemekaran dari Kecamatan Petasia );
c. Kecamatan Lembo Raya ( Pemekaran dari Kecamatan Lembo );
d. Kecamatan Lembo;
e. Kecamatan Mori Atas;
f. Kecamatan Mori Utara;
g. Kecamatan Soyo Jaya;
h. Kecamatan Bungku Utara; dan
i. Kecamatan Mamosalato.


Kabupaten Morowali Utara mempunyai batas-batas wilayah:

  • Sebelah utara berbatasan dengan Desa Buyuntaripa, Desa Korondoda, Desa Bugi Kecamatan Tojo dan Desa Rompi Kecamatan Ulubongka Kabupaten Tojo Una-Una;
  • Sebelah timur berbatasan dengan Desa Rata, Desa Gunung Kramat, Desa Matawa, Desa Mangkapa Kecamatan Toili Barat Kabupaten Banggai, dan Laut Banda;
  • Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Solonsa Kecamatan Wita Ponda Kabupaten Morowali dan Desa Nuha, Desa Matano, dan Desa Sorowako Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan; dan
  • Sebelah barat berbatasan dengan Desa Uelene, Desa Mayasari Kecamatan Pamona Selatan dan Desa Pancasila, Desa Kamba, Desa Matialemba, Desa Kancu’u dan Desa Masewe Kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso.


Proses terbentuknya Kabupaten Morowali Utara berdasarkan Undang - undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013 yaitu :
Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah ±61.841,29 km persegi dengan penduduk pada tahun 2012 berjumlah ±2.935.343 jiwa terdiri atas 11 (sebelas) kabupaten dan 1 (satu) kota, perlu memacu peningkatan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Kabupaten Morowali yang mempunyai luas wilayah ±13.041,32 km persegi dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 berjumlah ±236.534 jiwa terdiri atas 18 (delapan belas) kecamatan dan 258 (dua ratus lima puluh delapan)desa/kelurahan. Kabupaten ini memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan. 
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara adalah terlahir dari aspirasi masyarakat dan secara administrasi telah bergulir sejak tahun 2003. Alasan pembentukan Kabupaten Morowali Utara merupakan korban dari Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 yang bersifat ambigu sehingga menimbulkan konflik dalam masyarakat dan menyimpan potensi konflik horizontal yang tinggi dalam masyarakat. 
Sejarah perjuangan melahirkan Kabupaten Morowali tumbuh sejak lama dengan dicetuskan melalui kemauan politik resolusi DPRD/GR PropinsiSulawesi Tengah No.1/DPRD/1966, yang isinya meminta kepada pemerintah pusat agar Propinsi Sulawesi Tengah dimekarkan menjadi 11 (sebelas) Daerah Otonom Tingkat II, salah satunya adalah Kabupaten Morowali yang saat itu disebut wilayah Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku. 
Kabupaten Morowali Utara merupakan wilayah yang didiami oleh mayoritas Suku Mori yang tergolong kelompok majemuk dan multikultur. Menurut Albert C. Kruyt (“het Lanschap Mori”) mengklasifikasi penduduk Kerajaan Mori terdiri dari penduduk pribumi, yaitu mereka yang telah lama menetap dan menjadi warga Kerajaan Mori yang terbagi lagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu orang Mori asli, penduduk bukan orang Mori, dan penduduk aslibukan orang Mori (suku-suku lain) yang mendiami wilayah kerajaan dan penduduk suku-suku yang berasal dari daerah lain dan sejak berabad-abad melakukan eksodus dan menetap di wilayah Kerajaan Mori. 
Dengan berakhirnya perang dunia ke II, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan dengan menjadikan wilayah Kerajaan Mori dan Bungku sebagai bagian dari wilayah pemerintahan langsung (Government gebied) dan digabungkan pada wilayah pemerintahan Sulawesi dan daerah bawahannya(Government van Celebes en Onderhoorigheden) yang pusat pemerintahannya di Makassar. 
Selanjutnya bekas Kerajaan Mori dan Bungku sebagai daerah swapraja yang masing-masing berkedudukan di Kolonodale dan Bungku. Daerah SwaprajaMori dibagi 4 (empat) distrik yaitu Distrik Ngusumbatu, Distrik Sampalowo,Distrik Kangua dan Distrik Soyo yang kepala pemerintahannya disebut kepala distrik. Pada tahun 1938 Pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi struktur pemerintah dan menghasilkan keputusan padatahun 1942 bahwa wilayah Swapraja Mori dijadikan 3 (tiga) distrik yaitu Distrik Tomata berpusat di Tomata, Distrik Ngusumbatu berpusat di Tinompo, dan Distrik Petasia berpusat di Kolonodale. Seluruh wilayah permukiman penduduk Suku Mori, wilayah Kecamatan Bungku Utara, dan Kecamatan Mamasalato yang menyatakan aspirasi dan pernyataan sikap sebagai yang dahulu sebagai eks daerah Swapraja Bungku kini berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Morowali Utara. 
Dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk seperti tersebut diatas, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat belum sepenuhnya terjangkau terutama di wilayah pedalaman dan kepulauan. Kondisi demikian perlu diatasi dengan memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru sehingga pelayanan publik dapat ditingkatkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 
Sarana dan prasarana pemerintahan yang sudah sangat lengkap terbangun di wilayah Morowali Utara sehingga dapat dipastikan apabila terbentuk pelayanan pada masyarakat akan langsung dilakukan tanpa harus membebani APBD dengan pembangunan gedung pemerintahan. Sarana prasarana pemerintahan yang sudah tersedia di Kabupaten Morowali Utara di antaranya, kantor bupati, kantor DPRD kabupaten, kantor dinas-dinas,rumah jabatan pimpinan pemerintahan kabupaten, kantor kejaksaan,rumah tahanan, kantor syahbandar, kantor bea cukai, kantor TNI/Polri,serta fasilitas pelayanan umum yakni pelabuhan, kesehatan umum, depot Pertamina, telekomunikasi, kelistrikan, perbankan, dan PDAM.
Sumber kekayaan alam yang besar di wilayah Morowali sehingga dapat dipastikan Morowali Utara dapat membiayai APBD tanpa membebani Kabupaten Morowali. Kesanggupan Kabupaten Morowali Utara dalam pembiayaan daerah berdasarkan potensi kekayaan alam yang meliputi nikel, minyak, gas, marmer, perkebunan karet dan kelapa sawit, sektor pertanian, perikanan dan perdagangan. Selain itu Ibu Kota Morowali Utara di Kolonodale adalah satu-satunya kota administratif bentukan Belanda yang belum jadi ibu kota kabupaten di Indonesia.
Pembentukan Kabupaten Morowali Utara yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Morowali terdiri atas 9 (sembilan) kecamatan, yaitu Kecamatan Petasia, Kecamatan Petasia Timur, Kecamatan Lembo Raya, Kecamatan Lembo, Kecamatan Mori Atas, Kecamatan Mori Utara, Kecamatan Soyo Jaya, Kecamatan Bungku Utara, dan Kecamatan Mamosalato. Kabupaten Morowali Utara memiliki luas wilayah keseluruhan ±10.004,28 km persegi dengan jumlah penduduk ±92.766 jiwa pada tahun 2012 dan terdiri atas 125 (seratus dua puluh lima) desa/kelurahan. ( AW20130719 )

SUKU WANA


suku Wana

pic: foto.detik.com
Suku Wana (To Wana), adalah penduduk asli di kawasan Wana Bulang yang berada di wilayah kabupaten Morowali, pemukiman berada di kecamatan Mamosolato, Petasia, dan Soyojaya, dan tedapat juga di wilayah pedalaman di kabupaten Luwuk Banggai. Populasi suku Wana ini diperkirakan hanya 400 orang saja.

Suku Wana ini oleh pemerintah setempat digolongkan sebagai komunitas adat terpencil, yang mana di daerah pemukiman suku Wana belum ada fasilitas kesehatan dan sekolah.
Suku Wana disebut juga sebagai Tau Taa Wana yang berarti "orang yang tinggal di hutan". Sedangkan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Tau Taa, atau "orang Taa". 
Suku Wana berbicara dalam bahasa Taa. Bahasa Taa sendiri adalah bahasa yang diucapkan oleh suku Taa. Dilihat dari bahasa yang diucapkan oleh suku Wana ini, menunjukkan bahwa suku Wana dengan suku Taa yang berada di kabupaten Banggai dan kabupaten Tojo Una-Una, kemungkinan besar adalah kerabat sejak masa lalu.
Pemukiman suku Wana berada di hutan pedalaman, yang mereka sebut sebagai Lipu. Mereka bermukim di beberapa Lipu, yaitu Lipu To Oewaju, To Kajumarangke, To Kajupoli, To Posangke, To Bulang, To Langada, To Untunue dan lain-lain.
Asal usul suku Wana, menurut penuturan masyarakat suku Wana, mengatakan bahwa dahulunya mereka berasal dari wilayah sebelah tenggara Teluk Bone. Sedangkan menurut dugaan para peneliti, suku Wana ini hadir di wilayah ini melalui gelombang migrasi sejak ribuan tahun sebelum masehi. Suku Wana atau suku To Wana ini termasuk suku tertua di Sulawesi, ada cerita di Sulawesi Tenggara bahwa suku Towana adalah termasuk salah satu suku pertama yang menghuni daratan Sulawesi, yang telah ada di Sulawesi sejak 8000 tahun yang lalu pada zaman Mezolithicum.
Versi lain menyebutkan bahwa dari struktur fisik, budaya dan bahasa, suku Wana termasuk dalam rumpun suku “Koro Toraja”, yang pada jalur migrasinya berawal dari muara antara Kalaena dan Malili, yang menyusuri sungai Kalaena dan terus ke utara melewati barisan pegunungan Tokolekaju dan sampai di bagian tenggara pesisir Danau Poso. Tidak merasa cocok di tempat ini, mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur laut menyisir lereng gunung Kadata menuju dataran Walati, di lembah Masewa. Mereka terus bergerak ke arah timur menyusuri sungai Kuse melewati hulu sungai Bau, kemudian mereka ke arah timur dan berhenti di hulu sungai Bongka (Kaju Marangka). Di tempat baru ini lah mereka akhirnya menetap dan membangun pemukiman, dan terbentuklah komunitas suku Tau Taa Wana.
A.C Kryut, seorang peneliti dari Belanda, dalam artikelnya yang berjudul De To Wana op Oost-Celebes (1930), menyebutkan sebagian imigran tersebut menyebar dan menjadi 4 kelompok suku yang memiliki dialek bahasa yang berbeda, yaitu:
  • Suku Burangas, berasal dari Luwuk dan bermukim di kawasan Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
  • Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian bermukim di Manyoe, Sea, sebagian di Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
  • Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di kawasan Kajupoli, Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo, dan Salubiro;
  • Suku Untunue, mendiami Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi. Kelompok suku ini sampai sekarang masih menutup diri dari pengaruh luar (Yayasan Sahabat Morowali, 1998).
Lipu, pemukiman suku Wana
pic: earth day
Menurut tetua-tetua adat suku Wana, mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka dari satu asal, yaitu dari Tundantana, sebuah tempat di wilayah Kaju Marangka, yang berada dalam kawasan Cagar Alam (CA) Morowali. Tundantana diyakini sebagai tempat manusia pertama yang dititiskan dari langit dan kemudian melahirkan nenek moyang Suku Wana.
Menurut cerita rakyat suku Wana, mereka meyakini bahwa mereka berasal dari seorang perempuan bernama Ngga yang diturunkan ke bumi oleh Pue (Tuhan) dan seorang lelaki bernama Mbakale yang menitis dari sebatang kayu besar bernama Kaju Paramba‘a. Keduanya kemudian kawin dan melahirkan dua orang anak. Anak pertama bernama Manyamrame (perempuan), dan anak kedua bernama Manyangkareo (laki-laki). Setelah dewasa, Manyamrame dan Manyangkareo kemudian dikawinkan. Dari perkawinan tersebut, lahir tujuh orang anak, masing-masing: Jambalawa (perempuan), Sansambalawa (laki-laki), Lapabisa (perempuan), Vuampuangka (laki-laki), Pini (perempuan), dan Adimaniyu (perempuan) (Dinas Kesejahteraan Sosial Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, 2003).   
Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Wana menyebut tanah warisan leluhur mereka dengan “tana ntautua” atau tanah para leluhur (Yayasan Sahabat Morowali, 1998).
“… Di dalam sejarahnya, orang tua dulu menganggap hutan dan tanah sebagai ayah dan ibu. Hutan atau pohon-pohon (propo) itu ayah dan tanah itu ibu. Sehingga kami Tau Taa mengelola hutan dan tanah harus dibuatkan kapongo (sesajian) mampasimang. Tujuannya permisi kepada ayah dan ibu dan menghindari musibah…” (dalam Camang, Nunci, dan Tampubolon, 2005).
Masyarakat suku Wana, saat ini telah mengenal cara-cara pada pertanian, terutama bercocok tanam beberapa jenis sayur-sayuran serta kacang, jagung dan ubi. Selain itu kebiasaan mereka berburu ke hutan tetap dijalankan, untuk mendapat buruan seperti babi hutan, atau binatang liar yang mereka temukan di hutan. Menangkap ikan di sungai juga menjadi pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka

SEJARAH KABUPATEN MOROWALI



Kabupaten Morowali merupakan Kabupaten yang terbentuk dari hasil pemekaran wilayah Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-undang RI Nomor 51 Tahun 1999. Kabupaten Morowali merupakan salah satu dari sembilan Kabupaten Morowali dan satu kota yang ada di propinsi Sulawesi Tengah. Sejarah perjuangan untuk melahirkan Kabupaten Morowali sudah lama tumbuh dan menggelora di hati masyarakat. Aspirasi tersebut terus berkembang yang kemudian sampai pada tingkat lahirnya kemampuan politik dari wakil-wakil rakyat di lembaga DPRD dengan dicetuskannya Resolusi DPRD-GR Propinsi Sulawesi Tengah nomor :  1/DPRD/1966 yang isinya meminta kepada Pemerintah Pusat agar Propinsi Sulawesi Tengah dimekarkan menjadi 11 (sebelas) daerah otonom tingkat II, yaitu 2 (dua) Kotamadya dan 9 Kabupaten, salah satu diantaranya adlah Kabupaten Morowali (waktu itu masih disebut Mori Bungku).

komplek kantor bupati.

Sejarah perjuangan panjang ini ternyata tak pernah mengenal akhir, sehingga begitu masa reformasi, peralihan orde baru ke masa reformasi saat ini, di mana kebebasan demokrasi lebih digaungkan sebagai konsep pemerintahan, dengan kemudian diterapkannya konsep pemerintahan desentralisasi, yang diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah ditingkat Kabupaten, dimana Kabupaten diberi porsi yang lebih besar lagi untuk mengatur daerahnya sendiri. Maka semakin luaslah potensi bagi terbentuknya daerah Kabupaten baru. Oleh karena itu moment ini direspon oleh masyarakat seluruh lapisan di daerah Morowali untuk memperjuangkan kembali aspiral lamanya, yakni pembentukan Kabupaten Poso. Dan akhirnya perjuangan dan aspirasi masyarakat daerah ini berhasil, yakni dengan keluarnya kebijakan Pemerintah Pusat untuk membentuk daerah Morowali, berdiri sebagai Kabupaten sendiri, yang diberi nama Kabupaten Morowali, berdasarkan hasil pemikiran dan kesepakatan seluruh lapisan masyarakat.

Keputusan Pemerintah Pusat untuk membentuk Kabupaten Morowali ini kemudian dituangkan ke dalam UU RI Nomor 51 Tahun 1999. Setelah terbentuknya Kabupaten Morowali, langkah selanjutnya mempersiapkan perangkat wakil rakyat di DPRD dan pemilihan Bupati, Saat ini bupati terpilih pertama yang memimpin secara definitif Kabupaten Morowali adalah Andi Muhammad Abubakar dan Datlin Tamalagi sebagai wakil bupati definitif pertama dan Drs. H. Chaerudin Zen sebagai Sekertaris Kabupaten Morowali.

Lambang Daerah
Lambang daerah yang mengambarkan unsur-unsur terdiri dari:
Makna gambar:
Bintang melambangakan ketaqwaan terhadadap Tuhan Yang Maha Esa.
Tulisan “Tepe Asa Moroso” melukiskan semboyan persatuan dan kesatuan masyarakat Kabupaten Morowali yang artinya bersatu kita teguh.
Rumah Adat Morowali melambangkan tempat musyawarah untuk mencapai mufakat di bawah semboyan “Tepe Asa Moroso”.
Padi dan Kapas melambangkan kesejahteraan dan keadilan.
Lekukan-lekukan pada luar melambangkan kondisi topografi kabupaten morowali yang bervariasi.
Pohon palem melambangkan potensi pertanian yang merupakan salah satu unggulan kekayaan wilayah Kabupaten Morowali.
Perahu melambangkan potensi perikanan dan kelautan.
Padi jumlah 12 (dua belas), kapas jumlah 10 (sepuluh), dan tiang rumah adat berjumlah 9 (sembilan) melambangkan tanggal, bulan, tahun terbentuknya Kabupaten Morowali 12 Oktober 1999.

Makna warna
Warna putih melambangkan ketulusan dan tekad masyarakat morowali membangun daerahnya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Warna merah, hitam, dan kuning melambangkan warna khas seni dan budaya sebagai simbol kesatriaan, keteguhan, dan kematangan dalam membela kebenaran dan keadilan menuju kejayaan.
Warna hijau melambangkan potensi kehutanan dan perkebunan.
Warna coklat melambangkan potensi barang tambang.
Warna biru melambangkan potensi kelauta.

Drs. H. Anwar Hafid
Bupati Morowali

Drs. S.U. Marunduh M.Hum
Wakil Bupati Morowali

Geografi dan Topografi
A. Kondisi Geografi
Batas dan Luas Wilayah secara administratif Kabupaten Morowali memiliki batas wilayah sebagai berikut :Arah            Perbatasan
Utara   Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Tojo Una-Una
Selatan            Berbatasan dengan wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan
Barat   Berbatasan dengan Perairan Teluk Tolo dan Kabupaten Banggai
Timur   Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Poso, Tojo Una-Una, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah

Luas daratan Kabupaten Morowali diperkirakan kurang lebih 15.490,12 km2 atau sekitar 22,77 persen dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tengah. Luas Wilayah Kabupaten Morowali menempati urutan pertama bila dibandingkan dengan luas daratan kabupaten / kota lainnya di Sulawesi Tengah.

B. Topografi Wilayah

Wilayah Morowali terdiri dari 13 kecamatan, terdapat 3 kecamatan yang merupakan daerah kepulauan, yaitu Kecamatan Bungku Selatan, Kecamatan Menui Kepulauan, Kecamatan Bungku Utara. Gambar berikut ini menjelaskan perbandingan luas wilayah daratan per kecamatan:

Gambar 1.1 Persentase Perbandingan Luas Wilayah daratan Per Kecamatan di Kabupaten Morowali
Sumber : BPS Kab. Morowali (Diolah)

Sebagian besar wilayah Kabupaten Morowali merupakan wilayah pedesaan dengan kondisi geografis dan topografi yang berbeda-beda. Adapun jumlah desa per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini :

Tabel 1.1 Jumlah Desa per-Kecamatan Berdasarkan Keadaan Geografis dan TopografiGeografis
No       Kecamatan      Pantai  Lembah           Bukit   Daratan           Total
(kol 3+4+5+6)
(1)        (2)        (3)        (4)        (5)        (6)        (7)
1          Menui Kepulauan        19        -           -           -           19
2          Bungku Selatan           32        -           1          -           33
3          Bahodopi        10        -           -           2          12
4          Bungku Tengah           23        -           1          5          29
5          Bungku Barat  9          -           -           1          10
6          Bumi Raya      5          -           3          5          13
7          Witaponda      4          -           -           5          9
8          Lembo -           3          7          14        24
9          Mori Atas        -           2          6          12        20
10        Petasia 13        4          2          9          28
11        Soyo Jaya        3          1          5          -           9
12        Bungku utara  8          -           2          10        20
13        Mamosalato     6          4          2          2          14

Kab. Morowali            132      14        29        65        240


Secara Topografi
No       Kecamatan      Pantai  Lembah           Total (kol 3+4)
(1)        (2)        (3)        (4)        (5)
1.         Menui Kepulauan        16        3          19
2.         Bungku Selatan           14        19        33
3.         Bahodopi        12        -           12
4.         Bungku Tengah           22        7          29
5.         Bungku Barat  10        -           10
6.         Bumi Raya      13        -           13
7.         Witaponda      7          2          9
8.         Lembo 17        7          24
9.         Mori Atas        11        9          20
10.       Petasia 16        12        28
11.       Soyo Jaya        6          3          9
12.       Bungku utara  17        3          20
13.       Mamosalato     8          6          14

Kab. Morowali            169      71        240


Sumber : BPS Kab. Morowali (Diolah)

C. Gambaran Umum Demografis

Berdasarkan jumlah luas wilayah 15.490,12 Km2, maka kepadatan penduduk Kabupaten Morowali sekitar 12 jiwa/Km2. Struktur umur dapat dikelompokkan menjadi kelompok usia produktif (15-54 tahun) dan usia non produktif (0-14 tahun dan > 54 tahun). Kelompok usia produktif di Kabupaten Morowali sejumlah 94.737 jiwa (57,23 %), sedangkan kelompok usia non produktif sejumlah 69.266 jiwa (41,82 %). Tingkat ketergantungan usia non produktif terhadap usia produktif di Kabupaten Morowali relatif cukup tinggi yaitu 75 : 100. Dari data tersebut, terlihat bahwa struktur penduduk menurut jenis kelamin di Kabupaten Morowali, dapat dikatakan cukup berimbang. Dimana jumlah laki-laki sebanyak 85.502 jiwa (51,65 %) dan perempuan sebanyak 80.040 jiwa (48,35 %) dengan sex ratio yang hampir seimbang.

Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Morowali dapat dikatakan relatif masih rendah. Berdasarkan data yang ada, jumlah penduduk yang berpendidikan di bawah SMU/SMK sederajat (SLTP, SD termasuk didalamnya mereka yang tidak / belum pernah sekolah) berjumlah 121.764 jiwa (89,09 %). Sedangkan yang berpendidikan SMU sederajat ke atas (D1, D2, D3, S1 dan S2) berjumlah 14.91 2 jiwa (sekitar 10,91 %). Adapun prosentase tingkat pendidikan penduduk per kecamatan dapat dilihat pada gamber berikut :

Gambar 1.2 Perbandingan Jumlah Penduduk per Kecamatan
Sumber : BPS Kab. Morowali
http:

Masyarakat Etnik Bungku, Kab. Morowali Sulawesi Tengah

 Masyarakat Etnik Bungku, atau dikenal juga dengan "To Bungku" adalah salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah, tersebar di Kecamatan Bungku Utara, Kecamatan Bungku Tengah, Kecamatan Bungku Pesisir, Kecamatan Bungku Timur, Kecamatan Bungku Barat, dan Kecamatan Bungku Selatan. Populasi etnik Bungku diperkirakan telah mencapai sebesar 22.000 orang.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bungku, yang terbagi atas beberapa dialeg misalnya Ta'a, Merui dan Lalaeo. Orang Bungku lebih suka mendiami daerah pedalaman yang memang merupakan tanah leluhur mereka. Karena mereka tinggal di pedalaman, hubungan dengan orang luar secara mantap masih kurang. Tetapi dengan adanya Trans-Sulawesi, sekarang mereka mulai berkomunikasi dengan orang luar. Bahasa Bungku terdiri dari beberapa kasta (tingkatan) bahasa, yaitu amat halus, halus, bahasa sedang dan bahasa kasar. Masyarakat imigran di daerah ini menggunakan bahasa mereka sendiri, seperti bahasa Bugis, Bajo dan Jawa.
 Menurut sejarahnya bahwa leluhur masyarakat etnik Bungku berasal dari daerah Bugis. Etnik Bungku masih berkerabat dengan etnik Bugis, yang diduga memiliki hubungan sejarah masa lalu dan asal usul. Walaupun suku Bungku sebagai penduduk Sulawesi Tengah tetapi budayanya banyak memiliki kemiripan dengan budaya Bugis.
Masyarakat etnik Bungku secara mayoritas adalah penganut agama Islam Sufi. Mereka adalah penganut Islam yang taat. Beberapa pengamalan dalam hidup sangat kental dipengaruhi oleh budaya Islam, terlihat dalam beberapa tradisi adat dan kesenian mengandung unsur Islami.

Pengaruh animisme pada etnik  Bungku pada saat sebelum masuknya Islam pada kalangan masyarakat etnik Bungku sedikit tidaknya masih terlihat dari fenomena dukun tetap berpengaruh pada masyarakat Bungku, dukun dalam bahasa Bungku disebut dengan istilah Sando. Kepercayaan animisme tradisonal yang lebih tua masih tetap dijaga, misalnya masih percaya pada berbagai macam roh-roh dan melakukan berbagai ritual, baik untuk menenangkan atau mengendalikannya.

Dalam sistem organisasi kemasyarakatan masyarakat Bungku terdiri dari beberapa struktur lapisan, yaitu: masyarakat raja (pau), bangsawan (mokole), rakyat biasa dan budak (ata). Sistem kekerabatan dalam masyarakat Bungku disebut tepoalu petutua’ia. Selain itu, juga dapat ditelusuri melalui sistem gotongroyong yang berlaku pada masyarakat seperti, metatulungi, mefalo-falo dan mo’ala oleo.

Masyarakat etnik Bungku memiliki berbagai macam kesenian seperti: seni beladiri silat (kontaw dan manca), seni tetabuhan (tatabua) ndengu-ndengu, ganda dan rabana.

Pada masa pemerintahan kerajaan di tanah Bungku, terdapat 8 pesan filsafat yang maknanya cukup dalam namun kini sudah tidak ditemukan lagi pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: 
  • “baratantonga tompano kapandeanto, tila mengkena pande motauanto” artinya seimbangkan ujung ketrampilan kita, bahagi sama ujung ketrampilan dan pengetahuan kita. 
  • sopan santun dalam bahasa Bungku dikenal dengan istilah Kona’adati, konalelu, dan kona atora artinya bertingkah laku sesuai dengan tuntunan adat istiadat.
  • kemandirian dalam bahasa Bungku identik dengan tumorampanta, tumadempanta atau lumakompanta artinya hidup sendiri, berdiri sendiri atau berjalan sendiri.
  • taat terhadap orang tua merupakan kewajiban seorang anak. 
  • disiplin dan cermat yang disebut katutu atau matutu, 
  • tanggung jawab, 
  • kejujuran dalam bahasa Bungku disebut kamoleoa atau moleo. 
  • rasa pengabdian yang dikenal dengan safa montulungi yang juga diidentikkan dengan pongkokolaro.

Masyarakat etnik Bungku pada umumnya berprofesi sebagai petani. Mereka menanam padi sawah maupun ladang, serta becocoktanam berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan. Beberapa tanaman keras hungga saat ini  mereka tanam-tumbuhkan seperti kelapa, cocoa, cengkeh dan jambu mente. Selain itu beberapa dari mereka memilih profesi sebagai pedagang dan lain-lain.
Banyak pernikahan yang terjadi antara orang-orang Bungku dengan orang-orang imigran, sehingga hubungan antara kelompok-kelompok tersebut cukup baik di daerah ini. 

sumber bacaan:

  • bungkusulteng.blogspot.com

Sejarah Kerajaan Bungku 1

Tak banyak orang Indonesia yang mengetahui wilayah Bungku di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Padahal, wilayah yang terdiri dari berbagai pulau ini memiliki pemandangan alam yang indah, dengan penduduk yang memiliki berbagai latar belakang agama dan suku yang berbeda. Selain suku Bungku sendiri, wilayah ini antara lain ditinggali oleh oleh orang-orang dari suku Mori, Kaili, Menui Bugis, Buton, Ambon, Manado, Gorontalo, Makassar, Toraja, dan Bajo.
 
Kata “Bungku” sekarang ini memiliki beberapa makna (pengertian) antara lain: pertama menunjuk kepada satu etnis dari dua belas etnis yang mendiami Provinsi Sulawesi Tengah. kedua menunjuk kepada suatu wilayah eks landschap Tambuku/Tombuku (Bungku) yang merupakan satu kesatuan geografis terletak di Kabupaten Morowali dan membentang dari Kecamatan Menui Kepulauan sampai dengan Kecamatan Mamo Salato.
Menurut cerita yang berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat Bungku bahwa, kerajaan Bungku dahulu diperintah oleh raja-raja yang berasal dari keturunan leluhur yang sama mulai dari raja pertama sampai raja ke 13 sebagai raja terakhir hingga Indonesia merdeka. Raja pertama Kerajaan Bungku adalah Marhum Sangiang Kinambuka. Ayahnya bernama Sangia Oheo dan ibunya bernama Fengguluri. Adapun istri dari Sangiang Kinambuka adalah Wendoria gelar Apu Boki, keturunan Mokole Lere di Routa. Sangiang Kinambuka mempunyai dua orang saudara, bernama Fengkoila bergelar Sangia I Nato memerintah di Kendari dan Feluo Sangia Felungku memerintah di Kerajaan Luwu Palopo.
Kerajaan Bungku berdiri sebagai akibat dari sikap kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengikat seluruh kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Tengah dalam sebuah perjanjian yang hanya menguntungkan sebelah pihak. Kerajaan-kerajaan yang menolak perjanjian tersebut akan diserang dengan cara-cara kekerasan oleh Belanda dan kemudian wilayah kerajaannya dipecah-pecah. Salah satu kerajaan yang menolak perikatan itu adalah Kerajaan Mori, yang kemudian oleh Belanda dipecah menjadi Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, ketika kekuasaan penjajahan Belanda sudah semakin kuat, Pulau Sulawesi pada tahun 1905 oleh Belanda dibagi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Batas kedua provinsi tersebut adalah Pegunungan Tokolekayu di sebelah selatan Danau Poso. Provinsi Sulawesi Selatan dengan ibu kotanya Makassar dipimpin oleh seorang gubernur dan Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kotanya Manado dipimpin oleh seorang residen. Gubernur dan residen secara organisatoris berada langsung di bawah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Pada periode 1903-1918, daerah Sulawesi Tengah yang kita kenal sekarang ini sebagian termasuk dalam wilayah Keresidenan Sulawesi Selatan dan sebagian lagi termasuk wilayah Keresidenan Sulawesi Utara. Yang termasuk wilayah Sulawesi Selatan (Oost Celebes) adalah Onderafdeling Kolondale, yang terdiri dari Kerajaan Mori dan Bungku.
Keberadaan masyarakat Bungku sejak tahun 1622 sudah dikenal di Eropa terutama oleh orang Portugis dengan kata “Tobuguo”. Nama ini diperkenalkan oleh Hessel Gerrits dalam buku “La Kartographie Neederlandaise de la Celebes” sementara dalam literatur Belanda terdapat dua nama secara bergantian digunakan untuk menyebut Bungku yaitu “Tambuku” dan “Tombuku” kemudian hingga kini belum diketahui sejak kapan berubah menjadi “Bungku” yang kita kenal sebagai salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Morowali Sekarang.
Sayangnya, meski terbilang kerajaan muda karena baru berdiri pada awal abad ke-20, sejarah Kerajaan Bungku dan berbagai informasi yang berkaitan dengannya sangat sedikit sekali diketahui oleh bangsa ini. Padahal, tak dapat dimungkiri, Kerajaan Bungku merupakan mata rantai dari perjalanan panjang sejarah bangsa ini. Dan, informasi sejarah lokal semacam itu memiliki nilai penting bagi bangsa ini sebagai pijakan untuk menata masa depan yang lebih baik.
 
Sumber :  http://morowalinews.com/

Mengenal Sejarah dan Budaya Suku Mori



Suku Mori dikenal sebagai masyarakat atau penduduk Kerajaan Mori yang wilayahnya terletak di pesisir timur Propinsi Sulawesi Tengah, tepatnya disekitar Teluk Tomori atau yang juga lazim disebut Teluk Tolo (diapit oleh jazirah tenggara dan jazirah timur laut pulau Sulawesi). Kerajaan Mori adalah salah satu kerajaan yang berkembang di Indonesia.
Masyarakat Wita Mori atau Suku Mori merupakan kelompok etnik yang cukup besar di Sulawesi Tengah yang saat ini berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Morowali. Sejarah terbentuknya Kerajaan Mori pada zaman dahulu ini sama halnya dengan pembentukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi pada umumnya yaitu dari kisah kehadiran tokoh luar biasa. Walaupun memiliki corak dan karakter yang berbeda, legenda yang merupakan cikal bakal Kerajaan Mori ini berawal dari penemuan tokoh yang hadir secara luar biasa dan dapat diterima serta ditempatkan untuk memangku jabatan Mokole.
Dari kajian-kajian yang bersumber dari peninggalan leluhur yang didukung dengan kepustakaan yang ada, diketahui bahwa Wita Mori adalah wilayah persemakmuran yang terdiri dari gabungan Wilayah Otonom yang mempunyai pimpinan/kepala suku sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat serta silsilah kepala suku/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah diketahui bahwa mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang silam. Ikatan kekeluargaan ini yang merupakan pengikat solidaritas yang mendorong lahirnya wilayah persemakmuran untuk membangun secara bersama-sama kesejahteraan dan pertahanan secara terpadu dalam menghadapi perang antar suku (Mengayau) .
Berkaitan kisah Sawerigading turun temurun dikalangan tua-tua Wita Mori dapatlah dikatakan bahwa wilayah Wita Mori merupakan pengembangan dari Kerajaan Luwu. Hal ini dipertegas lagi dengan adanya Upeti yang harus dikirimkan setiap tahun kepada Datu Luwu dari beberapa wilayah Sulawesi Tengah bagian timur, antara lain Bungku, Mori dan Banggai. Saat itu, Wita Mori dipimpin oleh seorang wanita bernama Wedange yang dibantu oleh Karua/Tadulako bernama Kello dan berkedudukan di Wawontuko (Puncak Tongkat). Pada waktu itu Wedange tidak mau menghadiri panggilan Datu Luwu untuk bertemu di Uluanso sehubungan dengan keterlambatan pembayaran upeti dan hanya menyampaikan pesan lewat Karua Kello bahwa “saya lebih baik memilih mati”. Sejak saat itu, Kerajaan Luwu mulai menyerang Kerajaan Mori yang dalam pertempuran sengit berhasil menaklukkan serta menawan Wedange dan keluarganya serta Karua Kello di Palopo.
Catan bukti keberadaan sawerigading di tanah mori ( teluk Tomori yang diusulkan sebagai taman wisata laut yang menarik antara lain batu payung yang jelas nampak seperti payung pada saat air laut surut Kemudian gua tapak tangan di desa Tapahulu dan Ganda – ganda yang bernilai sejarah peninggalan Sawerigading.)
Sejak saat itu Wita Mori mengalami kekosongan Pemimpin dalam menghadapi serangan Pengayau sampai dengan tampilnya seorang tokoh legendaris, seorang Tadulako dengan gelar Tandu Rumba-Rumba bernama Rorahako. Rorahako mengumpulkan para Tadulako dari setiap anak suku di Wita Mori untuk menghadap datu Luwu memohon agar Raja Wedange dibebaskan agar dapat kembali memimpin Wita Mori, permohonan itu direstui oleh Datu Luwu. Namun, Wedange yang pada saat itu telah lanjut usia menunjuk anaknya Anamba untuk menjadi pimpinan sementara dengan syarat Wita Mori tidak lagi berkedudukan di Wawontuko, akan tetapi disuatu tempat yang lebih jauh ke pedalaman yaitu satu tempat yang bernama Pa’antoule (Petasia), sampai akan ada seorang Raja yang ditunjuk oleh Datu Palopo
Demikianlah dikenal urutan kedudukan Ibu Kota Wita Mori yang sering berpindah tempat, mulai dari Wawontuko, Pa’a Ntoule, Petasia, Matanda’u (Mata Wundula) dengan urutan sesuai data yang ada sejak di Pa’antoule yaitu : Anamba (Pimpinan Sementera) , Raja Sungkawawo, Raja Lawoliyo, Raja Tosaleko, dan terakhir Raja Marunduh yang gugur dalam pertempuran melawan Ekspedisi Militer Kolonial Belanda, dikenal dengan Perang Wulanderi (Agustus 1907).
Secara kultural, sejak Sungkawawo memerintah wilayah Mori pada masa lampau menjadi Kerajaan Mori yang diklasifikasikan atas tiga bagian yaitu (1) Mori Atas (Boven Mori) yang merupakan daerah pemukiman orang Mori dibagian barat. Pada bagian utara dan barat laut daerah ini terbentang padang ilalang yang luas, dan pada bagian selatan terbentang deretan pegunungan. (2) Mori Bawah (Beneden Mori) atau yang lebih dikenal dengan Lembo. Wilayah ini terbentang pada bagian timur dan tenggara dari wilayah Mori Atas, merupakan dataran rendah yang luas sehingga disebut Lembo. (3) Pada bagian selatan dari deretan pegunungan itu, yang dikategorikan sebagai bagian ketiga dari wilayah Kerajaan Mori disebut daerah Danau Malili, atau juga dikenal dengan daerah Nuha. Di daerah ini terdapat tiga danau yaitu Danau Matano, Dana Moholona, dan Danau Towuti, merupakan daerah yang sangat indah dan menawan karena dihiasi gunung-gunung tinggi serta diantaranya terbentang dataran tinggi sampai ke wilayah Nuha. Wilayah Nuha saat ini telah menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan.
Batas wilayah Kerajaan Mori yaitu bagian utara berbatasan dengan wilayah Kerajaan Poso (sekarang Kabupaten Poso) dan Tojo, bagian barat berbatasan dengan wilayah pemukiman kelompok suku Pasa (Topasa), Lamusa (Tolamusa), dan Palande (Topalande) yang berada dalam dominasi kekuasaan Kerajaan Poso. Pada bagian selatan berbatasan dengan bekas wilayah Kerajaan Luwu (sekarang secara khusus berbatasan dengan wilayah Kabupaten Luwu Timur) dan wilayah Kerajaan Bungku. Pada bagian timur berbatasan dengan Teluk Tomori (Teluk Tolo) dan sebagian dari wilayah Kerajaan Bungku (saat ini menjadi Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali).
Suku Mori tergolong kelompok yang majemuk dan multikultural. Albert C. Kruyt (“Het Lanschap Mori” dalam : Medelingen van Wege het Nederlandsche Zendeling Genootschap, 1895) mengklasifikasikan penduduk Kerajaan Mori dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penduduk pribumi, yaitu mereka yang telah lama menetap dan telah menjadi warga Kerajaan Mori. Penduduk pribumi ini terbagi lagi menjadi 3 golongan, yaitu : Orang Mori asli, penduduk asli bukan orang Mori (suku-suku lain) yang mendami wilayah kerajaan, dan penduduk suku-suku yang berasal dari daerah lain dan sejak berabad-abad yang lalu melakukan eksodus dan menetap di wilayah Kerajaan Mori. Kategori kedua adalah orang asing. Kategori ini menunjuk pada kelompok kaum yang datang dari luar Mori, bukan dengan tujuan untuk menetap dan menjadi penduduk Mori. Mereka adalah orang-orang yang bermata pencaharian sebagai peramu dan pedagang. Kehadirannya didaerah ini berkaitan dengan perkembangan perdagangan diwilayah Hindia Belanda, khususnya diluar Jawa dan Madura, yang pada waktu itu ada kebijakan pemerintah kolonial membuka kawasan ini menjadi kawasan pergadagangan bebas dan membuka beberapa pelabuhan sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1847. Dengan adanya kebijakan perdagangan bebas ini maka terbukalah akses dengan pedagang-pedagang Bugis dan Cina yang terus berdatangan ke wilayah Mori. Selain berdagang, juga mencari rempah-rempah yang memang sangat banyak dikandung oleh kekayaan alam Wita Mori. Dengan demikian maka terbuka juga peluang transaksi senjata api antara Raja serta para Mokole dengan pedagang-pedagang Bugis dan Cina ini, yang pada awalnya hanya sebagai hadiah dari para pedagang agar supaya mereka dapat diterima serta leluasa melakukan aktifitas niaganya.
Seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara ini tidak lepas dari peperangan, baik antar suku/kerajaan maupun perang melawan Kolonial Belanda yang ingin menguasai serta menjajah Bangsa Indonesia. Demikian pula dengan Kerajaan Mori, walaupun hanya kerajaan kecil namun tercatat pula sejarah yang mengisahkan tentang peperangan antar suku/kerajaan dan peperangan melawan Kolonial Belanda. Sejak tahun 1670, Kerajaan Mori telah berupaya untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya dari Kerajaan-Kerajaan lain yang ingin merampas serta menduduki Kerajaan Mori. Diantaranya, perang melawan Kerajaan Luwu yang saat itu mengalami kekalahan bahkan Ratu Wedange pemimpin pertama Kerajaan Mori sempat menjadi tawanan politik Kerajaan Luwu. Selanjutnya perang melawan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1856 yang dikenal dengan Perang Mori Pertama (Perang Ensaondau), dipimpin oleh Raja Tosaleko yang pada saat itu telah mulai dapat menghimpun kekuatan setelah beberapa kali melakukan pembenahan dari struktur pemerintahan sebelumnya yang dianggap kurang memuaskan dalam mengurus kegiatan pemerintahan serta pertahanan keamanan kerajaan. Dalam perang Ensaondau tersebut, Belanda berhasil merebut dan mengibarkan benderanya di Benteng Ensaondau. Pasukan Belanda berhasil menduduki Tompira dan Benteng Ensaondau, membakar permukiman di Patongoa dan Wawontuko. Namun, ekspedisi pasukan Belanda ini dianggap kurang memuaskan karena telah banyak menelan korban dari pasukan militer serta mengeluarkan anggaran yang sangat besar, dan nyatanya Kerajaan Mori tetap berjaya menjadi satu kerajaan merdeka dan berdaulat penuh. Perang besar lainnya, yaitu Perang Mori Kedua (Perang Wulanderi) yang dipimpin oleh Raja Marunduh (Datu ri Tana) pada bulan Agustus 1907. Perang ini berakhir dengan kematian Raja Marunduh Datu ri Tana setelah mendapat serangan dari pasukan Marsose di Benteng Wulanderi. Kematian Raja Mori ini menimbulkan duka yang teramat dalam bagi rakyat Mori. Hal ini menjadi titik terlemah bagi perjuangan rakyat Mori dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Rakyat Mori dirundung duka dan berkabung sehingga sangat sulit untuk kembali membangkitkan semangat untuk meneruskan perlawanan. Pada akhirnya atas kesepakatan bersama para Mokole dan Tadulako, seluruh daerah pertahanan mengibarkan bendera putih sebagai tanda pernyataan menyerah. Dengan demikian pasukan ekspedisi Belanda menyataka bahwa seluruh wilayah Kerajaan Mori telah berhasil ditaklukkan dan dikuasai pada 20 Agustus 1907.
Dengan berakhirnya Perang Mori II, maka Pemeintah Hindia Belanda melakukan penataan dengan menjadikan wilayah Kerajaan Mori sebagai bagian dari wilayah pemerintahan langsung (government gebied) dan digabungkan pada wilayah pemerintahan Sulawesi dan Daerah Bawahannya (Government van Celebes en Onderhoorigheden), yang pusat pemerintahannya di Makassar. Selanjutnya, masing-masing bekas Kerajaan Mori dan Bungku berkedudukan sebagai daerah Swapraja. Daerah Swapraja Mori dibagi dalam 4 distrik, yaitu Distrik Ngusumbatu, Sampalowo, Kangua dan Soyo. Kepala Pemerintahannya disebut Kepala Distrik. Pada tahun 1938, Pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi struktur pemerintahan dan menghasilkan keputusan pada tahun 1942 bahwa wilayah Swapraja Mori dijadikan 3 distrik, yaitu : Distrik Tomata (berpusat di Tomata), Distrik Ngusumbatu (berpusat di Tinompo) dan Distrik Petasia (berpusat di Kolonodale).
Sejak diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 52 Tahun 1999, seluruh wilayah permukiman penduduk Suku Mori kini berada dalam Wilayah Pemerintah Kabupaten Morowali (hasil pemekaran wilayah Kabupaten Poso), yang terpusat di 7 Kecamatan dari 16 Kecamatan yang ada, yaitu : (1) Kecamatan Mori Atas (kedudukan pemerintahan di Tomata), (2) Kecamatan Mori Utara (kedudukan pemerintahan di Mayumba), (3) Kecamatan Lembo (kedudukan pemerintahan di Beteleme), (4) Kecamatan Lembo Raya (kedudukan pemerintahan di Petumbea), (5) Kecamatan Petasia (kedudukan pemerintahan di Kolonodale), (6) Kecamatan Petasia Timur (kedudukan pemerintahan di Bungintimbe), Kecamatan Soyo Jaya (kedudukan pemerintahan di Lembah Sumara).
(Situs Istana Raja Mori, lokasi Kolonodale??)
Melihat umur dan struktur bangunan , kemungkinan ini adalah kantor pemerintahan kolonial yang  pertama di Petasia (red)