.quickedit{ display:none; }

cctv

Jumat, 13 Mei 2016

Peraturan Menteri No.34/PER/M.KOMINFO/8/2009




MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

NOMOR: 34/PER/M.KOMINFO/8/2009



TENTANG PENYELENGGARAAN KOMUNIKASI RADIO ANTAR PENDUDUK



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,


Menimbang :
a.
bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 40 huruf b
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi, telah diatur ketentuan
tentang penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
keperluan sendiri perorangan, yang termasuk di antaranya
penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan
penyelenggaraan komunikasi radio antar penduduk.

b.
bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, maka Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2003 tentang
Pedoman Kegiatan Komunikasi Radio Antar Penduduk perlu diganti,

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Komunikasi dan lnformatika tentang Penyelenggaraan
Komunikasi Radio Antar Penduduk.

Mengingat :

1.
Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999
tentang Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor : 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 3881).

2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor : 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4437).

3
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
(Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2000 Nomor : 107,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3980).

4.
Peraturan Pemerintah Nomor : 53 Tahun 2000
tentang Penggunaan spektrum Frekuensi Radio dan orbit satelit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor : 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3981).

5.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001
tentang penyelenggaraan Dekonsentrasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 4095).

6.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang
berlaku pada Departemen Komunikasi dan Informatika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor : 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 4974).

7.
Keputusan Presiden Republik lndonesia Nomor 9 tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan peraturan
Presiden Nomor 20 Tahun 2008.

8.
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor: 21 Tahun 2009.

9.
Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor :
03/P/M-KOMINFO/5/2005
tentang penyesuaian Kata sebutan Pada Beberapa Keputusan/Peraturan Menteri perhubungan
Yang Mengatur Materi Muatan Khusus di Bidang pos dan Telekomunikasi.

10.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor
25/P/M.KOMINFO/7/2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Komunikasi dan Infoimatika;

11.
Peraturan Menteri Komunikasi dan informatika Nomor
29/P/M.KOMINFO/9/2008
tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi.


MEMUTUSKAN:

Menetapkan:



PERATURAN MENTERTI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
TENTANG PENYELENGGARAAN KOMUNIKASI RADIO ANTAR PENDUDUK



BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri iniyang dimaksud dengan :

1.
Komunikasi Radio adalah telekomunikasi dengan mempergunakan gelombang radio.

2.
Komunikasi Radio Antar Penduduk yang selanjutnya disebut
KRAP adalah Komunikasi Radio yang menggunakan pita
frekuensi radio yang telah ditentukan secara khusus untuk
penyelenggaraan KRAP dalam wilayah Republik lndonesia.

3.
Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang
menggunakan dan memancarkan gelombang radio.

4.
Stasiun KRAP adalah satu atau beberapa pesawat pemancar
dan atau pesawat penerima termasuk perlengkapannya yang diperlukan di
suatu tempat untuk menyelenggarakan penyelenggaraan KRAP.

5.
Perangkat KRAP adalah sekelompok alat telekomunikasi yang
memungkinkan penyelenggaraan KRAP.

6.
lzin KRAP yang selanjutnya disebut IKRAP adalah hak yang diberikan oleh
Direktur Jenderal kepada seseorang yang memenuhi persyaratan untuk mendirikan,
memiliki, mengoperasikan stasiun radio dan menggunakan frekuensi radio KRAP.

7.
organisasi adalah induk organisasi Radio Antar penduduk
lndonesia yang selanjutnya disebut RAPI, kecuali dinyatakan
secara khusus.

8.
Kartu Tanda Anggota adalah kartu tanda anggota yang
diterbitkan dan ditandatangani oleh Ketua Umum RAPI.

9.
Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

10.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pos dan
Telekomunikasi.

11.
Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal pos dan
Telekomunikasi.

12.
unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disebut UPT adalah
UPT Monitor Spektrum Frekuensi Radio di lingkungan Dirjen Postel.

13.
Kepala Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disebut
Kepala UPT adalah Kepala upr Monitbr spekirum Frekuensi
Radio di lingkungan Dirjen Postel.





BAB II

PENYELENGGARAAN KRAP



Pasal 2

Penyelenggaraan KRAP merupakan penyelenggaraan telekomunikasi khusus
pada pita frekuensi radio tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.



Pasal 3

(1)
Penyelenggaraan KRAP wajib memiliki IKRAP yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal.

(2)
IKRAP diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.

(3)
Setiap pemegang IKRAP dapat memiliki perangkat KRAP
lebih dari 1 (satu).



Pasal 4

Setiap pemegang IKRAP wajib menjadi anggota Organisasi.



Pasal 5

Pengurus organisasi wajib melakukan pembinaan terhadap calon
dan anggotanya.



Pasal 6

Setiap anggota Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
mempunyai tanggung jawab.;

a.
membantu pemerintah untuk mengatasi kebutuhan fasilitas
telekomunikasi dalam hal keselamatan negara, jiwa manusia
(SAR), ketertiban masyarakat, bencana alam dan kecelakaan.

b.
menerima dan menyalurkan berita-berita sebagaimana
dimaksud pada huruf a kepada instansi/lembaga yang berhak menerimanya.



Pasal 7

Stasiun KRAP harus dikenali dari nama panggilan yang menggunakan abjad
dan angka yang telah dibakukan secara internasional yang dipancarkan pada
permulaan dan akhir komunikasi radio yang diselenggarakan.



Pasal 8

(1)
Setiap pemegang IKRAP diizinkan memiliki hanya 1 (satu)
tanda panggilan (callsign).

(2)
Tanda panggilan (callsign) KRAP ditetapkan oleh Direktur
Jenderal berdasarkan usulan Organisasi.

(3)
Tanda Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
penyelenggaraan KRAP memiliki susunan prefix, kode daerah
dan sufflx.

(4)
Prefix sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Juliet Zulu
(JZ) yang merupakan tanda panggilan yang ditetapkan untuk
seseorang atau Organisasi.

(5)
Suffix sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah susunan
huruf AA sampai dengan ZZ dan AAA sampai dengan ZZZ.

(6)
Kode daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi ;

a. Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (01)
b. Provinsi Sumetera Utara (02)
c. Provinsi Sumetera Barat (03)
d. Provinsi Riau (04)
e. Provinsi Jambi (05)
f. Provinsi Sumatera Selatan (06)
g. Provinsi Bengkulu (07)
h. Provinsi Lampung (08)
i. Provinsi Daerah Khusus lbu Kota Jakarta (09)
j. ProvinsiJawa Barat (10)
k. Provinsi Jawa Tengah (11)
l. Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta (12)
m. ProvinsiJawa Timur (13)
n. Provinsi Bali (14)
o. Provinsi Nusa Tenggara Barat (15)
p. Provinsi Nusa Tenggara Timur (16)
q. Provinsi Kalimantan Timur (18)
r. Provinsi Kalimantan Selatan (19)
s. Provinsi Kalimantan Tengah (20)
t. Provinsi Kalimantan Barat (21)
u. Provinsi Sulawesi Utara (22)
v. Provinsi SulawesiTengah (23)
w. Provinsi Sulawesi Selatan (24)
x. Provinsi SulawesiTenggara (25)
y. Provinsi Maluku (26)
z. Provinsi Papua (27)

aa. Provinsi Maluku Utara (28)
bb. Provinsi Papua Barat (29)
cc. Provinsi Banten (30)
dd. Provinsi Kep. Bangka Belitung (31)
ee. Provinsi Gorontalo (32)
ff. Provinsi Kepulauan Riau (33)
gg. ProvinsiSulawesi Barat (34)

(7)
Nomor kode daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
yang berikutnya menyesuaikan dengan nomor pembentukan provinsi baru.



Pasal 9

Anggota organisasi yang beroperasi di daerah lain, di luar provinsi tempat tinggalnya
dalam menyebutkan nama panggilan harus menambahkan keterangan yang menyatakan dimana dan
dalam penyelenggaraan apa stasiun tersebut dioperasikan.



Pasal 10

(1)
setiap pemilik IKRAP wajib menggunakan arat dan perangkat
KRAP yang telah memenuhi persyaratan teknis dan mendipat sertifikat dari Direktur Jenderal.

(2)
Alat dan perangkat KRAP yang digunakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan penggunaan komponen dalam negeri.

(3)
Setiap pemilik IKRAP wajib memasang papan/stiker tanda
pengenal identitas stasiun KRAP di tempat lokasi stasiun
KRAP, baik stasiun tetap maupun bergerak.

(4)
Bentuk dan ukuran papan/stiker tanda pengenar identitas
stasiun KRAP sebagaimana dimaksud piOu ayat (3)
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran peraturan Menteri ini.





BAB III


PERIZINAN

Pasal 11

(1) Jenis IKRAP meliputi :
a. IKRAP Baru.
b. IKRAP Perbaruan.
c. IKRAP Perpanjangan.
(2) Permohonan IKRAP diajukan oleh pemohon melalui
Organisasi kepada Direktur Jenderal.

(3) IKRAP diterbitkan oleh Direktur Jenderal melalui Organisasi
diserahkan kepada pemohon.

(4) Format IKRAP sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II
Peraturan Menteri ini.



Pasal 12

Permohonan IKRAP Baru diajukan kepada Direktur Jenderal
melalui Organisasi dengan menggunakan form sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran lll Peraturan Menteri ini, dengan
melampirkan:

a.
fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
b.
Surat Keterangan Catatan Kepolisian, khusus bagi anggota
TNI/Polri yang masih dinas aktif cukup surat keterangan dari
kesatuan masing-masing;
c.
Surat Pernyataan bersedia menjadi anggota Organisasi;
d.
pas foto terbaru ukuran 2 x 3 cm sebanyak 4 (empat) lembar.
e.
fotocopy bukti pembayaran IKRAP.



Pasal 13

(1)
IKRAP Perbaruan meliputi rusak, hilang dan perpindahan.

(2) Permohonan IKRAP Perbaruan untuk rusak dan hilang diajukan
kepada Direktur Jenderal melalui Organisasi dengan
menggunakan form sebagaimana dimaksud dalam Lampiran lll Peraturan Menteri ini,
dengan melampirkan :
a.
surat keterangan hilang dari polri setempat atau
pernyataan kerusakan yang disahkan oleh organisasi.
b.
fotocopy KTP atau tanda pengenal lainnya;
c.
pas photo terbaru ukuran 2 X 3 cm sebanyak 4 (empat)

(3)
Permohonan IKRAP Perbaruan untuk perpindahan diajukan
kepada Direktur Jenderal melalui Organisasi dengan
menggunakan form sebagaimana dimaksud dalam Lampiran lll Peraturan Menteri ini,
dengan melampirkan :
a.
IKRAP asli terakhir;
b.
foto copy Kartu Tanda Anggota;
c.
pas foto terbaru ukuran 2x3 cm sebanyak 4 (empat) lembar.



Pasal 14

(1)
Permohonan IKRAP Perpanjangan diajukan kepada Direktur
Jenderal melalui Organisasi dengan menggunakan form
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran lll peraturan Menteri
ini, dengan melampirkan :

a.
IKRAP asli terakhir;
b.
fotocopy Kartu Tanda Anggota.
c.
pas foto terbaru ukuran 2 x 3 cm sebanyak 4 (empat) lembar.
d.
fotocopy bukti pembayaran IKRAP.

(2)
Permohonan IKRAP Perpanjangan diajukan 3 (tiga) bulan
sebelum berakhirnya masa laku.



Pasal 15

(1)
Biaya dikenakan untuk IKRAp Baru,
IKRAP pembaruan dan IKRAP Perpanjangan.

(2)
Besarnya biaya IKRAP ditetapkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3)
Biaya IKRAP merupakan Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) yang
seluruhnya langsung disetor ke Kas Negara.





BAB IV

PENGGUNAAN ALAT DAN PERANGKAT KRAP

Pasal 16

(1)
Alat dan perangkat KRAP hanya digunakan untuk komunikasi
radio dalam negeri.
(2)
Stasiun KRAP dapat digunakan untuk penyelenggaraan:
a. hubungan persahabatan dan persaudaraan antar sesama anggota.
b.
pembinaan, penyuluhan dan penyelenggaraan Organisasi.
c.
bantuan komunikasi dalam rangka penyelenggaraan
kepramukaan, olah raga, sosial kemasyarakatan, dan
penyelenggaraan kemanusiaan lainnya.

d. penyampaian berita marabahaya, bencana alam,
pencarian, dan pertolongan (SAR).
(3)
Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah Bahasa
lndonesia sesuai dengan etika dan tata cara berkomunikasi
yang baik.

Pasal l7

(1)
Stasiun KRAP dilarang digunakan untuk:

a.
memancarkan berita yang bersifat politik, SARA, dan atau
pembicaraan lainnya yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan
ketertiban.
b.
memancarkan pemberitaan/berita yang bersifat komersial
atau memperoleh imbalan jasa. memancarkan berita sandi,
kecuali kode-10 (ten-code).
d.
berkomunikasi dengan stasiun KRAP yang tidak memiriki izin atau
stasiun radio lain sesuai stasiun KRAP.
e.
digunakan untuk jasa telekomunikasi;
f.
memancarkan berita. marabahaya atau berita yang tidak benar
dan/atau signal yung menyesatkan;
g.
memancarkan informasi yang tidak sesuai peruntukannya sebagai sarana
komunikasi rAdio antara Lain :
memancarkan musik-musik, menyanyi, pidato, dongeng, danpembicaraan asusila.

h.
sarana komunikasidi pesawat udara atau kapal laut.
i.
sarana komunikasi bagi kepentingan dinas instansi pemerintah dan/atau swasta.
j.
berkomunikasi ke luar negeri.

(2)
Penggunaan pita HF. dilarang disambungkan pada
suatu penguat daya (external power amptifier)

(3)
Penggunaan pita VHF dilarang disambung pada suatu penguat
daya (external poier amptifier) dengan cara apapun.




BAB V

PITA FREKUENSI RADIO

Pasal 18

(1)
Kanal frekuensi. radio yang diizinkan pada pita HF (High frequensi)
untuk pelaksanaan penyelenggaraan KRAP
adalah frekuensi radio 26,960 MHz s/d 27,410 Mhz

MHz yang dibagi menjadi 40 kanal, yaitu :

Kanal MHz Kanal MHz
1 26,965
2 26,975
3 26,985
4 27,0A5
5 27,015
6 27,025
7 27,A35
8 27,A55
9 27,065
10 27,075
11 27,085
12 27,105
13 27,115
14.27,125
15 27,135
16 27,155
17 27,165
18 27,175
19 27,185
20 27,205
21. 27,215
22. 27,225
23. 27,235
24. 27,245
25. 27,255
26. 27,265
27. 27,275
28. 27,285
29 27,295
30. 27,305
31. 27,315
32. 27,325
33. 27,335
34. 27,345
35. 27,355
36. 27,365
37. 27,375
38. 27,385
39. 27,395
40. 27,405


(2)
Ketentuan penggunaan pita HF sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagai berikut :

a.
pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pita frekuensi radio yang digunakan bersama
dan tidak khusus diperuntukkan bagi 1 (satu) orang
pemegang IKRAP dan tidak pula dilindungi dari gangguan
elektromagnetik yang merugikan.

b.
setiap kanal frekuensi radio KRAP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat digunakan untuk penyampaian berita
gawat darurat.

c.
khusus frekuensi radio 27,065 MHz (kanal 9) hanya
digunakan untuk penyampaian berita gawat darurat.

d.
frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada huruf a
merupakan frekuensi radio dengan pita sisi tunggal atas
(USB = Upper Side Band) dengan gelombang pembawa di
tekan (SSB SC = Single Side Band Suppressed Carrier).

e.
kelas emisi yang diizinkan pada pita HF adalah J3E untuk
komunikasi telepon radio.

f.
toleransi frekuensi radio maksimum untuk Stasiun Tetap
Pita Sisi Tunggal (SSB) adalah sebesar 50 Hz, sedangkan
Stasiun Bergerak adalah sebesar 40 Hz.

g.
daya pancar maksimum sebesar:
1. 12 Watt Peak Envelope Power (PEP);
2. PEP dalam hal ini ialah daya rata-rata yang dicatukan
pada saluran transmisi antena oleh suatu pemancar
selama satu periode dari frekuensi radio, pada puncak
selubung modulasi yang terjadi pada kondisi operasi
yang normal.

h.
Daya pancar sebagaimana dimaksud pada huruf g tidak
boleh dilampaui dalam semua keadaan operasi dan semua
keadaan modulasi karena daya pancar yang berlebihan
akan mengakibatkan gangguan pada sistem hubungan
lainnya.

i.
pancaran tersebar (Spurious emission) dan gelombang
harmonis maksimum sebesar 50 decibel di bawah daya
pancar.

j
lebar pita untuk setiap kanal adalah 2,8 KHz (2KB0J3E).


Pasal 19

(1)
Kanalfrekuensi radio yang diizinkan pada pita VHF
(Very High Frequency) untuk pelaksanaan penyelenggaraan KRAP
adalah frekuensi radio 142.000 MHz sampai dengan 143.600
MHz dengan spasi alur 20 KHz.

(2)
(3)
(4)
Kanal frekuensi radio yang diizinkan pada pita VHF untuk
penyelenggaraan KRAP menggunakan pemancar ulang (Repeater) pada frekuensi radio :

a. RX : 142,000 MHz dan 142,025 MHz;
b. TX : 143,550 MHz dan 143,575 MHz.

Penggunaan pemancar ulang (repeater) digunakan untuk
keperluan Organisasi

Ketentuan penggunaan pita VHF sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut :

a.
frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat 2
merupakan frekuensi radio dengan gelombang pembawa
modulasi frekuensi radio untuk komunikasi teleponi radio.

b.
pita frekuensi dengan kanal sebagaimana dimaksud pada
huruf a merupakan pita frekuensi yang digunakan bersama
dan tidak khusus diperuntukkan bagi satu orang pemegang
izin dan tidak pula dilindungi dari gangguan elektromagnetik yang merugikan.

c.
setiap kanal frekuensi dapat pula digunakan untuk
penyampaian berita gawat darurat.

d.
toleransi frekuensi maksimum :

1.
Stasiun Tetap pancar ulang (repeater) dengan daya
pancar maksimum 50 Watt, sebesar 20 bagian dari 106;
2.
Stasiun Tetap dan Stasiun Bergerak dengan daya
pancar maksimum 25 Watt, sebesar 15 bagian dari 106.

e.
daya pancar maksimum :

1. Perangkat pancar ulang (repeater) : 50 Watt
2. Perangkat lnduk : 25 Watt
3. Perangkat Genggam : 5 Watt.
f. pancaran tersebar maksimum :
1. untuk perangkat pancar ulang (repeater) : 60 decibel (1 milliWatt);
2. untuk perangkat induk dan perangkat genggam : 40 decibel (25 microwatt).

g.
lebar pita maksimum 16 kHz.

h.
kelas emisi yang diizinkan pada pita VHF adalah F3E untuk
komunikasi telepon radio.






BAB VI

PERSYARATAN TEKNIS



Pasal 20

(1)
Pemegang IKRAP harus menguasai cara pengoperasian perlengkapan atau
peralatan stasiun radio yang digunakan.

(2)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam peraturan
ini merupakan persyaratan minimum bagi pelaksanaan penyelenggaraan KRAP.

(3)
Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal dapat menetapkan persyaratan tambahan.



Pasal 21

Pemegang IKRAP wajib mentaati bahwa pancaran yang dilakukan
melalui perangkat pemancarnya tidak melebihi batas pita frekuensi
radio, daya pancar, kelas emisi dan lebar pita yang ditetapkan
untuk penyelenggaraan KRAP.



pasal 22

Antena yang dipergunakan wajib memenuhi persyaratan yaitu :

a.
polarisasi vertikal dan horisontal pada pita HF
dengan panjang gelombang maksimum 5/8 lambda.

b.
polarisasi vertikar pada pita VHF
dengan panjang gerombang maksimal 7/8 lambda.

c.
antena yang dipasang pada bangunan antena untuk stasiun
tetap KRAP, ketinggian antenanya harus memenuhi syarat syarat
sebagai berikut :

1.
Antena KRAP yang didirikan di atas bangunan gedung
bertingkat, tidak boleh melebihi 11 (sebelas) meter.

2.
Antena KRAP yang didirikan di sekitar stasiun radio pantai atau bandar udara,
wajib memperhatikan ketentuan khusus yang ditetapkan oleh instansi yang
berwenang dalam keselamatan pelayaran atau penerbangan.

3.
Antena KRAP yang didirikan di darat dan di sekitar
wilayah stasiun pantai atau bandar udara hanya boleh
dilakukan dengan seijin Syahbandar atau pejabat yang
berwenang di bandar udara tersebut.

d.
bangunan antena harus kuat,
tidak membahayakan keselamatan umum dan
harus tunduk kepada peraturan tata kota atau
ketentuan pemerintah daerah setempat

e.
ketinggian antena stasiun bergerak KRAP, harus
memperhatikan keamanan terhadap bahaya adanya jaringan arus listrik.



Pasal 23

(1)
Untuk keperluan penyelenggaraan KRAP,
Organisasi dapat mendirikan stasiun Radio pancar ulang (repeater) dengan syarat
memenuhi ketentuan teknis alat dan perangkat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19.

(2)
Pendirian Stasiun Radio pancar Ulang (repeater)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Direktur Jenderal.






BAB VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN



Pasal 24

(1)
Direktur Jenderal melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap peraturan Menteri ini.
(2)
Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh upr dengan dibantu organisasi Tingkat Daerah.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), UPT dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait.



Pasal 25

Dalam hal seorang pemilik IKRAP mengetahui atau diberitahu bahwa
pancaran radionya menimbulkan gangguan terhadap stasiun komunikasi radio lain
atau terhadap peralatan elektronik masyarakat,
maka yang bersangkutan wajib untuk segera menghentikan kegiatan pancaran radionya
serta berupaya menghilangkan gangguan tersebut secepat mungkin.


Pasal 20

Dalam hal pemilik IKRAP merakukan pelanggaran dan tidak
mentaati ketentuan dalam peraturan Menteri ini,
berorganisasi dapat melaporkan dan mengusulkan
kepada Direktur Jenderal untuk dilakukan tindakan pencabutan izin.



Pasal 27

(1)
Pengawasan sebagaimana dimaksud daram pasar 24 ayat
(2)
meliputi pengawasan administrasi dan pengawasanteknis.
(3)
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukin dengan cara :
a.
memeriksa IKRAp asli.
b.
memeriksa ketentuan teknis instalasi stasiun KRAP; dan
c.
menguji pancaran pada beberapa frekuensi radio tertentu.



Pasal 28

(1)
Organisasi dan setiap anggotanya harus membantu
Pemerintah dalam mengawasi penggunaan frekuensi radio
KRAP terhadap kemungkinan gangguan serta melaporkan
secara tertulis kepada Kepala UPT.
(2)
Setiap anggota RAPI harus memberitahukan kepada
anggota RAPI lainnya yang menimbulkan gangguan
terhadap stasiun komunikasi radio lain atau menyimpang
dari ketentuan yang berlaku.



Pasal 29

Organisasi wajib menyampaikan laporan tahunan tentang kegiatan
Organisasi kepada Direktur Jenderal.





BAB VIII

SANKSI

Pasal 30

(1)
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 10 ayat
(1) dan ayat (3), dan Pasal 21 dalam Peraturan Menteri ini
dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(2)
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila Pemilik IKRAP tidak mengindahkan
peringatan tertulis yang diberikan sebanyak 2 (dua) kali
berturut-turut dengan tenggang waktu peringatan masing masing
15 (lima belas) hari kerja.

(3)
Selain pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Direktur Jenderal dapat mencabut IKRAP milik anggota
RAPI yang telah mendapat keputusan tetap dari Pengadilan
Negeri atas pelanggaran pidana berat.






BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 31

(1) IKRAP dan/atau tanda panggilan (callsign) lama masih tetap
berlaku dan secara bertahap disesuaikan.

(2) Dalam hal terdapat pemberian tanda panggiran (callsign)
ganda harus dilakukan penyesuaian.





BAB X

KETENTUAN PENUTUP


Pasal 32

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka :

1.
Keputusan Menteri perhubungan Nomor : KM.77 Tahun 2003
tentang Pedoman Kegiatan Komunikasi Radio Antar Penduduk;

2.
surat edaran Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor 97/M.KOMINFO/2008 Tanggal 23 April 2008
perihalPenyelenggaraan Amatir Radio dan Komunikasi Radio Antar Penduduk.

3. Segala ketentuan peraturan lain penyelenggaraan KRAP yang
Peraturan Menteri ini; yang mengatur tentang bertentangan dengan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 33

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penggunaan Peraturan Menteri ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik lndonesia.







Ditetapkandi :JAKARTA

Padatanggal: 31 Agustus 20O9

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,

Mohammad Nuh







LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

NOMOR : 34/PER/M.KOMINFO/8/2009
TANGGAL : 31 Agustus 2009


TANDA PENGENAL STASIUN KOMUNIKASI RADIO ANTAR PENDUDUK


STASIUN KOMUNIKASI RADIO ANTAR PENDUDUK TETAP

1. Papan Nama den!an ketentuan:
a. Bentuk empat persegi panjang
b. Ukuran 50 x 30 Cm
c. Huruf balok berdiri
d. Warna dasar lriiau tulisan hitam

2. Ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah dilihat dari luar/ jalan


STASIUN KOMUNIKASI RADIO ANTAR PENDUDUK BERGERAK DARAT

1. Sticker dengan ketentuan :
a. Bentuk empat persegi panjang
b. Ukuran 51 x 6 Cm
c. Huruf balok berdiri
d. Warna dasar hijau tulisan hitam

2. Ditempatkan sedemikian rupa sehingqa mudah dilihat.



LAMPIRAN II : PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

NOMOR : 34/PER/M.KOMINFO/8/2009
TANGGAL ; 31 Agustus 2009

CONTOH IZIN KOMUNIKASI ANTAR PENDUDUK


LAMPIRAN III : PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

NOMOR : 34/PER/M.KOMINFO/8/2009
TANGGAL : 31 Agustus 2OO9

Perihal : Permohonan IKRAP

a. Baru.
b. Pembaruan.
c. Perpanjangan.







Isi keseluruhan KM. 34/2009 dapat dilihat Disini

http://www.postel.go.id/content/ID/regulasi/frekuensi/kepmen/permen_34_2009.pdf

PERATURAN PEMERINTAH R.I NO: 52 TAHUN 2000




PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2000
TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :     bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang:Telekomunikasi, dipandang perlu untuk nienetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi;
Mengingat :   1. Pasal 5 ayat (2) Undang?Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUTAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan 
  1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman. dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik. radio. atau sistem elektromagnetik lainnya; 
  2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
  3. Perangkat telekomunikasi adalah. sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
  4. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
  5. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
  6. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
  7. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
  8. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
  9. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
  10. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
  11. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan dan pengoperasiannya khusus;
  12. Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara telekomunikasi yang berbeda;
  13. Kewajiban pelayanan universal adalah kewajiban yang dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi untuk memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian masyarakat yang belum terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
  14. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
BAB II
PENYELENGGARAAN JARINGAN DAN
JASA TELEKOMUNIKASI
Bagian Pertama
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
  1. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
  2. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
  3. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Pasal 4
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
  1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
  2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
  3. Badan Usaha Swasta; atau
  4. Koperasi.
Pasal 5
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat dilakukan oleh
  1. perseorangan;
  2. instansi pemerintah; atau
  3. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan jaringan Telekomunikasi
Pasal 6
  1. Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi.
  2. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun jaringan telekomunikasi wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis.
  4. Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalami ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 7
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui jaringan yang diselenggarakannya.
Pasal 8
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannya.
  2. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah ada.
  3. Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi dari Menteri.
Pasal 9
  1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri dari:
    1. penyelenggaraan jaringan tetap; 
    2. penyelenggaraan jaringan bergerak.
  2. Penyelenggaraan jaringan tetap dibedakan dalam
    1. penyelenggaraan jaringan tetap lokal;
    2. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan langsung jarak jauh;
    3. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan internasional;
    4. penyelenggaraan jaringan tetap tertutup.
  3. Penyelenggaraan jaringan bergerak dibedakan dalam
    1. penyelenggaraan jaringan bergerak terestrial;
    2. penyelenggaraan jaringan bergerak seluler;
    3. penyelenggaraan jaringan bergerak satelit.
  4. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 10
  1. Penyelenggara jaringan tetap lokal atau penyelenggara jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan bergerak satelit harus,menyelenggarakan jasa teleponi dasar.
  2. Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa teleponi dasar wajib menyelenggarakan jasa telepon umum.
  3. Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa telepon umum dapat bekerjasama dengan pihak ketiga.
Pasal 11
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat bekerjasama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi luar negeri sesuai dengan izin penyelenggaraannya.
  2. Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis.
Pasal 12
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan jasa Telekomunikasi
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, penyelenggara jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Pasal 14
  1. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri dari:
    1. penyelenggaraan jasa teleponi dasar;
    2. penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi;
    3. penyelenggaraan jasa multimedia.
  2. Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
  1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik.
  2. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan pelayanan yang sama kepada pengguna jasa telekomunikasi.
  3. Dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis.
  4. Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur Dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
  1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
  2. Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
Pasal 17
  1. Catatan/rekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disimpan sekurang?kurangnya 3 (tiga) bulan.
  2. Penyelenggara jasa telekomunikasi berhak memungut biaya atas permintaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi.
Pasal 18
  1. Pelanggan jasa telekomunikasi dapat mengadakan sendiri perangkat akses dan perangkat terminal pelanggan jasa telekomunikasi.
  2. Instalasi perangkat akses di rumah dan atau gedung dapat dilaksanakan oleh instalatur yang memenuhi persyaratan.
Pasal 19
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jasa telekomunikasi sepanjang akses jasa telekomunikasi tersedia.
Bagian Keempat
Interkoneksi Penyelenggaraan jaringan Telekomunikasi
Pasal 20
  1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin tersedianya interkoneksi,
  2. Interkoneksi antar jaringan telekomunikasi dilaksanakan pada titik interkoneksi.
  3. Pelaksanaan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi diberikan atas dasar permintaan dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Pasal 21
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dilarang melakukan diskriminasi dalam penyediaan interkoneksi.
  2. Dalam pelaksanaan interkoneksi, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib saling memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat layanan yang disepakati.
Pasal 22
  1. Kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.
  2. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan atau terjadi perselisihan antar penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam pelaksanaan interkoneksi, para pihak dapat meminta penyelesaiannya kepada Menteri.
  3. Upaya penyelesaian oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi hak para pihak untuk melakukan upaya hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
  1. Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi.
  2. Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.
  3. Biaya interkoneksi dikenakan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal.
  4. Apabila terjadi perbedaan penghitungan besarnya biaya penggunaan interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) para penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat melakukan penyelesaian upaya hukum melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
Pasal 24
Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.
Pasal 25
  1. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak mempunyai hubungan langsung ke jaringan telekomunikasi di wilayah tujuan di dalam negeri dan atau luar negeri, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyalurkan trafik melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. 
  2. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk menyalurkan trafik berhak untuk mendapatkan bagian biaya interkoneksi yang besarnya disepakati bersama.
  3. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga dalam hal kapasitas saluran langsung yang dimiliki penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak mencukupi.
  4. Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyalurkan kelebihan trafik dari penyelenggara satu ke penyelenggara jaringan lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Pelayanan Universal
Pasal 26
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi dikenakan kontribusi kewajiban pelayanan universal.
  2. Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa:
    1. penyediaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
    2. kontribusi dalam bentuk komponen biaya interkoneksi; atau
    3. kontribusi lainnya.
Pasal 27
Untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal Menteri menetapkan:
  1. wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal;
  2. jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal;
  3. jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal;
  4. penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan universal.
Pasal 28
  1. Kewajiban membangun dan menyelenggarakan jaringan di wilayah pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal.
  2. Kontribusi kewajiban pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan lainnya yang menyalurkan trafik ke penyelenggara jaringan tetap lokal.
  3. Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk pembayaran komponen biaya interkoneksi yang diterima oleh penyelenggara jaringan tetap lokal.
  4. (4) Kontribusi kewajiban pelayanan universal lainnya dibebankan
    kepada penyelenggara jaringan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
    dan kepada penyelenggara jasa lainnya.
Pasal 29
Setiap penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan pencatatan atas pendapatan dari hasil kontribusi kewajiban pelayanan universal yang berasal dari pendapatan interkoneksi.
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
Pasal 30
Ketentuan mengenai besarnya kontribusi kewajiban pelayanan universal dan tata cara pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 31
Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan kewajiban pelayanan universal.
Bagian Keenam
Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi
Pasal 32
  1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi.
  2. Tarif Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah terseri diri.
Pasal 33
Setiap penyelenggara jaringan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak atau terlambat membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang?undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Tarif Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 34
  1. Tarif penyelenggaraan telekomunikasi terdiri atas tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
  2. Susunan tarif penyelenggaraan telekomunikasi terdiri atas jenis dan struktur tarif.
Pasal 35
  1. Jenis tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri atas :
    1. tarif sewa jaringan; 
    2. biaya interkoneksi.
  2. Jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan tetap terdiri atas:
    1. tarif jasa teleponi dasar sambungan lokal, sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI).
    2. tarif jasa nilai tambah teleponi;
    3. tarif jasa multimedia.
  3. Jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan bergerak terdiri atas 
    1. tarif air-time;
    2. tarif jelajah;
    3. tarif jasa multimedia.
Pasal 36
  1. Struktur tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri atas :
    1. biaya akses;
    2. biaya pemakaian;
    3. biaya kontribusi pelayanan universal.
  2. Struktur tarif penyelenggaraan jasa telckomunikasi terdiri atas:
    1. biaya aktivasi;
    2. biaya berlangganan bulanan;
    3. biaya penggunaan;
    4. biaya fasilitas tambahan.
Pasal 37
  1. Besaran tarif ditetapkan berdasarkan formula.
  2. Penetapan formula perhitungan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan biaya.
  3. Ketentuan mengenai formula tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
BAB III
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS
Bagian Pertama
Umum
Pasal 38
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus diselenggarakan untuk keperluan:
  1. sendiri;
  2. pertahanan keamanan negara;
  3. penyiaran.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
Untuk Keperluan Sendiri
Pasal 39
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a dilakukan untuk keperluan:
  1. perseorangan;
  2. instansi pemerintah;
  3. dinas khusus;
  4. badan hukum.
Pasal 40
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf a meliputi:
  1. amatir radio; 
  2. komunikasi radio antar penduduk.
Pasal 41
  1. Kegiatan amatir radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a digunakan untuk saling berkomunikasi tentang ilmu pengetahuan, penyelidikan teknis dan informasi yang berkaitan dengan teknik radio dan elektronika.
  2. Kegiatan amatir radio dapat digunakan untuk penyampaian berita mara bahaya, bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR).
Pasal 42
  1. Kegiatan komunikasi radio antar penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b digunakan untuk saling berkomunikasi tentang kegiatan kemasyarakatan.
  2. Kegiatan komunikasi radio antar penduduk dapat diguniakan untuk penyampaian berita mara bahaya, bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR).
Pasal 43
  1. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mendukung kegiatan pemerintahan.
  2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah dapat diselenggarakan jika:
    1. keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara Jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
    2. b. lokasi kegiatannya belum terjangkau oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi; dan atau
    3. kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi yang tersendiri dan terpisah.
Pasal 44
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf c dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mendukung kegiatan dinas yang bersangkutan.
Pasal 45
  1. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf d dilaksanakan oleh badan hukum untuk mendukung kegiatan dan atau usahanya.
  2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum dapat diselenggarakan jika
    1. keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
    2. lokasi kegiatannya belum terjangkau oleh penyclenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi; dan atau
    3. kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi yang tersendiri dan terpisah.
Pasal 46
  1. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan izin Menteri.
  2. Penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) wajib mengikuti ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
  3. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk
Keperluan Pertahanan Keamanan Negara
Pasal 47
  1. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, bentuk dan kegunaannya diperuntukan khusus bagi keperluan pertahanan keamanan negara yang dilaksanakan oleh Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia.
  2. Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara diatur dengan keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.
  3. Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 48
  1. Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.
  2. Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara dilaksanakan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 49
  1. Dalam keadaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara belum atau tidak mampu mendukung kegiatan pertahanan negara penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara dapat menggunakan atau memanfaatkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus lainnya.
  2. Dalam keadaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara belum atau tidak mampu mendukung kegiatan keamanan negara, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara dapat menggunakan atau memanfaatkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus lainnya.
  3. Dalam penggunaan dan pemanfaatan jaringan dan atau jasa telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi lain, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara wajib mengikuti ketentuan pengunaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang berlaku.
  4. Dalam penggunaan dan pemanfaatan jaringan dan atau jasa telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi lain, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara wajib mengikuti ketentuan pengunaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang berlaku.
  5. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penggunaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan bersama oleh Menteri dan menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penggunaan dan pemanfaatan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan bersama oleh Menteri dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 50
Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal. 41, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 dilarang untuk:
  1. menyelenggarakan telekomunikasi di luar peruntukannya;
  2. menyambungkan atau mengadakan interkoneksi dengan jaringan telekomunikasi lainnya; dan
  3. memungut biaya dalam bentuk apapun atas penggunaan dan atau pengoperasiannya, kecuali untuk telekomunikasi khusus yang berkenaan dengan ketentuan internasional yang telah diratifikasi.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
Untuk Keperluan Penyiaran
Pasal 51
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, bentuk dan kegunaannya diperuntukan khusus bagi keperluan penyiaran.
Pasal 52
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dilaksanakan oleh penyelenggara penyiaran guna memenuhi kegiatan penyiaran.
Pasal 53
  1. Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib mernbangun sendiri jaringan sebagai sarana pemancaran dan sarana transmisi untuk keperluan penyiaran.
  2. Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran sebagaimana dimakstud dalam ayat (1) dilarang menyewakan jaringannya kepada penyelenggara telekomunikasi lainnya.
Pasal 54
  1. Jaringan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dapat disambungkan ke jaringan telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan khusus untuk keperluan penyiaran.
  2. Dalam hal jaringan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran disambungkan ke jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib mengikuti ketentuan penggunaan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 55
  1. Untuk penyelenggaraan telekomunikasi diberikan izin melalui tahapan izin prinsip dan izin penyelenggaraan.
  2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan dan dinas khusus tidak memerlukan izin prinsip.
  3. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara tidak memerlukan izin prinsip dan izin penyelenggaraan.
Pasal 56
  1. Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)diberikan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
  2. Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan hanya untuk 1 (satu) kali selama 1 (satu) tahun.
  3. Izin prinsip tidak dapat dipindahtangankan.
Pasal 57
  1. Untuk menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, pemohon wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri.
  2. Dalam mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon wajib memenuhi persyaratan:
    1. berbentuk badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi;
    2. mempunyai kemampuan sumberdana dan sumberdaya manusia di bidang telekomunikasi.
  3. Tata cara pengajuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 58
  1. Menteri mengumumkan peluang usaha untuk menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi kepada masyarakat secara terbuka.
  2. Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
    1. jenis penyelenggaraan;
    2. jumlah penyelenggara;
    3. lokasi dan cakupan penyelenggaraan;
    4. persyaratan dan tata cara permohonan izin; 
    5. tempat dan waktu pengajuan permohonan izin;
    6. biaya-biaya yang harus dibayar;
    7. kriteria seleksi dan evaluasi untuk penetapan calon penyelenggara telekomunikasi.
  3. Pemberian izin untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi dilakukan melalui evaluasi atau seleksi.
  4. Persyaratan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d sekurang-kurangnya terdiri atas
    1. profil perusahaan;
    2. rencana pembangunan jaringan atau jasa;
    3. rencana usaha.
  5. Ketentuan mengenai tata cara evaluasi atau seleksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 59
Untuk menyelenggarakan telekomunikasi khusus, pemohon wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri.
Pasal 60
  1. Dalam pengajuan permohonan izin telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran, pemohon wajib memenuhi persyaratan
    1. berbentuk badan hukurn Indonesia yang bergerak di bidang penyiaran;
    2. mempunyai kemampuan sumberdana dan sumberdaya manusia di bidang penyiaran.
  2. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 61
  1. Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran, Menteri mengumumkan peluang usaha dalam menyelenggarakan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran kepada masyarakat secara terbuka.
  2. Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
    1. jumlah peeyelenggara;
    2. lokasi dan cakupan penyelenggaraan;
    3. persyaratan dan tata cara permohonan;
    4. tempat dan waktu pengajuan permohonan;
    5. biaya-biaya yang harus dibayar;
    6. kriteria seleksi untuk penetapan calon penyelenggara telekomunikasi.
  3. Penetapan izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dilakukan melalui seleksi.
  4. Ketentuan mengenai tata cara seleksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 62
  1. Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan dinamakan izin amatir radio dan izin komunikasi radio antar penduduk.
  2. Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus dinamakan izin stasiun radio
Pasal 63
Izin penyelenggaraan Telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri oleh badan hukum yang menggunakan sistem komunikasi radio lingkup terbatas dan sistem komunikasi radio dari titik ke titik dinamakan izin stasiun radio.
Pasal 64
  1. Menteri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan izin diterima secara lengkap wajib memberikan keputusan mengenai pemberian atau penolakan izin prinsip.
  2. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja Menteri tidak memberikan keputusan penolakan atau pemberian izin, permohonan izin prinsip dianggap disetujui.
Pasal 65
  1. Pemegang izin prinsip wajib mengajukan permohonan uji laik operasi untuk sarana dan prasarana yang telah selesai dibangun kepada lembaga yang berwenang untuk melaksanakan uji laik operasi.
  2. Ketentuan mengenai tata cara uji laik operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 66
Menteri menerbitkan izin penyelenggaraan telekomunikasi setelah sarana dan prasarana yang dibangun dinyatakan laik operasi.
Pasal 67
  1. Izin penyelenggaraan telekomunikasi diberikan tanpa batas waktu dan setiap 5 (lima) tahun dilakukan evaluasi.
  2. Terhadap hasil evaluasi yang tidak lagi memenuhi persyaratan sesuai izin yang telah diberikan, Menteri menerapkan sanksi administrasi.
  3. Ketentuan mengenai tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud dalam, ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
BAB V
GANTI RUGI
Pasal 68
  1. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
  2. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya,
  3. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas kepada kerugian langsung yang diderita atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 69
  1. Penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dilaksanakan melalui proses pengadilan atau di luar pengadilan.
  2. Tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 70
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau atas permintaan instansi/departemen/lembaga atau pihak lain.
  2. Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan kerugian atas terhentinya kegiatan penyelenggaraan jasa telekomunikasi pada jaringan telekomunikasi dan berdasarkan kesepakatan para pihak.
  3. Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi beban dan tanggung jawab instansi/departemen/lembaga atau pihak lain yang melakukan kegiatan atau menghendaki adanya pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi.
BAB VI
PERSYARATAN TEKNIS ALAT DAN
PERANGKAT TELEKOMUNIKASI
Pasal 71
  1. Setiap, alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan, untuk diperdagangkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan tenis.
  2. Persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi untuk keperluan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Pasal 72
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dimaksudkan dalam rangka:
  1. menjamin keterhubungan dalam jaringan telekomunikasi;
  2. mencegah saling mengganggu antar alat dan perangkat telekomunikasi;
  3. melindungi masyarakat dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan akibat pemakaian alat dan perangkat telekomunikasi;
  4. mendorong berkembangnya industri, inovasi dan rekayasa teknologi telekomunikasi nasional.
Pasal 73
  1. Menteri menetapkan persyaratan teknis untuk alat dan perangkat telekomunikasi yang belum memiliki standar nasional Indonesia setelah memperhatikan pertimbangan pihak dan instansi terkait.
  2. Persyaratan teknis alat dan perangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dirumuskan berdasarkan:
    1. adopsi standar internasional atau standar regional;
    2. adaptasi standar internasional atau standar regional; atau
    3. hasil pengembangan industri, inovasi dan rekayasa teknologi telekomunikasi nasional.
  3. Persyaratan teknis yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diusulkan menjadi Standar Nasional Indonesia.
Pasal 74
  1. Menteri menerbitkan sertifikat untuk tipe alat dan perangkat telekomunikasi yang telah memenuhi persyaratan teknis dan berdasarkan hasil pengujian.
  2. Pengujian alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh balai uji yang telah memiliki akreditasi dari lembaga yang berwenang dan ditetapkan oleh Menteri.
  3. Menteri dapat menunjuk balai uji yang telah diakreditasi untuk menerbitkan sertifikat.
  4. Persyaratan teknis untuk alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) tidak berlaku untuk alat dan perangkat telekomunikasi yang telah memiliki standar internasional.
  5. Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan penerbitan sertifikat dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta jangka waktu berlakunya sertifikat diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
  1. Menteri dapat melakukan saling pengakuan penerapan persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi dengan negara lain.
  2. Saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikuti ketentuan yang berlaku.
Pasal 76
  1. Dalam penerapan persyaratan teknis alat dan perang telekomunikasi, dikenakan biaya sertifikat.
  2. Biaya sertifikat alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
  1. Alat dan perangkat telekomunikasi yang telah memperoleh sertifikat wajib diberi label.
  2. Ketentuan mengenai label alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Keputusan Menteri.
BAB VII
PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
Pasal 78
Jenis gangguan telekomunikasi terdiri atas:
  1. gangguan fisik yaitu gangguan secara fisik pada jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi;
  2. gangguan elektromagnetik yaitu gangguan secara elektromagnetik pada jaringan telekomunikasi dan atau sarana dan prasarana telekornunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 79
Pengamanan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan untuk mengamankan dan melindungi sarana dan prasarana telekomunikasi, jaringan telekomunikasi, sumber daya manusia dan informasi.
Pasal 80
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus wajib membuat peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi yang digunakannya.
  2. Peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disebarluaskan kepada instansi terkait.
Pasal 81
  1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus wajib memasang tanda-tanda keberadaan jaringan telekomunikasi;
  2. Ketentuan mengenai tanda-tanda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 82
Setiap jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi harus dilengkapi dengan sarana pengamanan dan perlindungan agar terhindar dari gangguan telekomunikasi.
Pasal 83
Penyelenggara telekomunikasi harus memasang perangkat deteksi dini, perangkat pemantau, dan perangkat pencegah terjadinya gangguan penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 84
  1. Instansi pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin mendirikan bangunan, instalasi dan atau prasarana lainnya wajib memperhatikan peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi.
  2. Pihak yang melakukan kegiatan pembangunan atas dasar izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menghindari terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 85
Setiap orang yang bekerja di lingkungan penyelenggaraan telekomunikasi wajib mengamankan dan melindungi sarana dan prasarana telekomunikasi maupun informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.
Pasal 86
Penyelenggara telekomunikasi wajib menyediakan, mendidik dan melatih tenaga yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap pengamanan dan perlindungan sarana dan prasarana telekomunikasi.
Pasal 87
Dalam hal untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas
  1. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
  2. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 88
Permintaan perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 disampaikan secara tertulis dan sah kepada penyelenggara jasa telekomunikasi dengan tembusan kepada Menteri.
Pasal 89
  1. Permintaan tertulis perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 sekurang-kurangnya memuat:
    1. obyek yang direkam;
    2. masa rekaman; dan
    3. periode waktu laporan hasil rekaman.
  2. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memenuhi permintaan perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya dalam waktu 1 kali 24 jam terhitung sejak permintaan diterima.
  3. Dalam hal teknis rekaman tidak dimungkinkan, penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib memberitahukan kepada  Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan atau Penyidik.
  4. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan selambat-lambatnya 6 (enam) jam setelah diterimanya permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
  5. Hasil rekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan secara rahasia kepada Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian dan atau Penyidik.
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT DI BIDANG
TELEKOMUNIKASI
Pasal 90
  1. Dalam rangka melibatkan peran serta masyarakat dibentuk lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi.
  2. Lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk berdasarkan konsensus antara pelaku industri telekomunikasi.
  3. Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaporkan kepada Menteri.
Pasal 91
  1. Keanggotaan lembaga peran serta masyarakat berasal dari pelaku industri telekomunikasi yang terdiri dari
    1. asosiasi di bidang usaha telekomunikasi;
    2. asosiasi profesi telekomunikasi;
    3. asosiasi produsen peralatan telekomunikasi;
    4. asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi; dan 
    5. masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
  2. Kepengurusan lembaga peran serta masyarakat dipilih dan diangkat dari anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
  3. Kepengurusan lembaga peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikukuhkan oleh Menteri.
  4. Pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan setelah memperhatikan AD/ART lembaga peran serta masyarakat.
Pasal 92
  1. Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai tugas menyampaikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
  2. Pemikiran dan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pemerintah baik diminta maupun tidak diminta.
  3. Pemerintah harus mempertimbangkan dengan seksama pemikiran dan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 93
Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai fungsi
  1. menghimpun pendapat, pemikiran, dan pandangan masyarakat tentang pengembangan pertelekomunikasian;
  2. mengkaji dan merumuskan pendapat yang berkembang di masyarakat sebagai bahan usulan kebijakan dan atau peraturan yang berkaitan dengan pembinaan, pengaturan, dan penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 94
  1. Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi dalam melaksanakan kegiatannya dibiayai secara swadana.
  2. Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi memperoleh keuangan dari sumber-sumber yang sah.
BAB IX
SANKSI
Pasal 95
  1. Pelanggaran terhadap Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal l0 ayat (2), Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 25 ayat (1), ayat (3),ayat (4), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 32 ayat (1), Pasal.46 ayat (2), Pasal 49 ayat (3), ayat (4), Pasal 50, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 57, Pasal 60, Pasal 65 ayat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin.
  2. Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah diberikannya peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut?turut yang mana masing-masing peringatan tertulis berlangsung selama 7 (tujuh) hari kerja.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 96
Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1991 tentang Perlindungan dan Pengamanan Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 97
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1967 tentang Radio Amatirisme di Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 35.,  Tambahan Lembaran Negara Nomor 2843) jo Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1980 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1967 tentang Radio Amatirisme di Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980
    Nomor 30);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2952);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1991 tentang Perlindungan Dan Pengamanan Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3446);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Untuk Keperluan Pertahanan Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3466);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3514), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 98
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 8 September 2000.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juli 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal ll Juli 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 107
   
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET Rl
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I,
Lambock V Nahattands