Suku Mori dikenal sebagai masyarakat atau penduduk Kerajaan Mori
yang wilayahnya terletak di pesisir timur Propinsi Sulawesi Tengah,
tepatnya disekitar Teluk Tomori atau yang juga lazim disebut Teluk Tolo
(diapit oleh jazirah tenggara dan jazirah timur laut pulau Sulawesi).
Kerajaan Mori adalah salah satu kerajaan yang berkembang di Indonesia.
Masyarakat Wita Mori atau Suku Mori
merupakan kelompok etnik yang cukup besar di Sulawesi Tengah yang saat
ini berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Morowali. Sejarah
terbentuknya Kerajaan Mori pada zaman dahulu ini sama halnya dengan
pembentukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi pada umumnya yaitu dari kisah
kehadiran tokoh luar biasa. Walaupun memiliki corak dan karakter yang
berbeda, legenda yang merupakan cikal bakal Kerajaan Mori ini berawal
dari penemuan tokoh yang hadir secara luar biasa dan dapat diterima
serta ditempatkan untuk memangku jabatan Mokole.
Dari kajian-kajian yang bersumber
dari peninggalan leluhur yang didukung dengan kepustakaan yang ada,
diketahui bahwa Wita Mori adalah wilayah persemakmuran yang terdiri dari
gabungan Wilayah Otonom yang mempunyai pimpinan/kepala
suku sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat serta
silsilah kepala suku/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah
diketahui bahwa mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang
silam. Ikatan kekeluargaan ini yang merupakan pengikat solidaritas yang
mendorong lahirnya wilayah persemakmuran untuk membangun secara
bersama-sama kesejahteraan dan pertahanan secara terpadu dalam
menghadapi perang antar suku (Mengayau) .
Berkaitan kisah Sawerigading turun
temurun dikalangan tua-tua Wita Mori dapatlah dikatakan bahwa wilayah
Wita Mori merupakan pengembangan dari Kerajaan Luwu. Hal ini dipertegas
lagi dengan adanya Upeti yang harus dikirimkan setiap tahun kepada Datu Luwu
dari beberapa wilayah Sulawesi Tengah bagian timur, antara lain Bungku,
Mori dan Banggai. Saat itu, Wita Mori dipimpin oleh seorang wanita
bernama Wedange yang dibantu oleh Karua/Tadulako bernama Kello dan berkedudukan di Wawontuko (Puncak Tongkat). Pada waktu itu Wedange tidak mau menghadiri panggilan Datu Luwu untuk bertemu di Uluanso
sehubungan dengan keterlambatan pembayaran upeti dan hanya menyampaikan
pesan lewat Karua Kello bahwa “saya lebih baik memilih mati”. Sejak
saat itu, Kerajaan Luwu mulai menyerang Kerajaan Mori yang dalam
pertempuran sengit berhasil menaklukkan serta menawan Wedange dan
keluarganya serta Karua Kello di Palopo.
Catan bukti keberadaan sawerigading di
tanah mori ( teluk Tomori yang diusulkan sebagai taman wisata laut yang
menarik antara lain batu payung yang jelas nampak seperti payung pada
saat air laut surut Kemudian gua tapak tangan di desa Tapahulu dan Ganda
– ganda yang bernilai sejarah peninggalan Sawerigading.)
Sejak saat itu Wita Mori mengalami
kekosongan Pemimpin dalam menghadapi serangan Pengayau sampai dengan
tampilnya seorang tokoh legendaris, seorang Tadulako dengan gelar Tandu Rumba-Rumba bernama Rorahako.
Rorahako mengumpulkan para Tadulako dari setiap anak suku di Wita Mori
untuk menghadap datu Luwu memohon agar Raja Wedange dibebaskan agar
dapat kembali memimpin Wita Mori, permohonan itu direstui oleh Datu
Luwu. Namun, Wedange yang pada saat itu telah lanjut usia menunjuk
anaknya Anamba untuk menjadi pimpinan sementara dengan
syarat Wita Mori tidak lagi berkedudukan di Wawontuko, akan tetapi
disuatu tempat yang lebih jauh ke pedalaman yaitu satu tempat yang
bernama Pa’antoule (Petasia), sampai akan ada seorang Raja yang ditunjuk oleh Datu Palopo
Demikianlah dikenal urutan kedudukan Ibu
Kota Wita Mori yang sering berpindah tempat, mulai dari Wawontuko, Pa’a
Ntoule, Petasia, Matanda’u (Mata Wundula) dengan urutan sesuai data yang
ada sejak di Pa’antoule yaitu : Anamba (Pimpinan Sementera) , Raja Sungkawawo, Raja Lawoliyo, Raja Tosaleko, dan terakhir Raja Marunduh yang gugur dalam pertempuran melawan Ekspedisi Militer Kolonial Belanda, dikenal dengan Perang Wulanderi (Agustus 1907).
Secara kultural, sejak Sungkawawo
memerintah wilayah Mori pada masa lampau menjadi Kerajaan Mori yang
diklasifikasikan atas tiga bagian yaitu (1) Mori Atas (Boven Mori)
yang merupakan daerah pemukiman orang Mori dibagian barat. Pada bagian
utara dan barat laut daerah ini terbentang padang ilalang yang luas, dan
pada bagian selatan terbentang deretan pegunungan. (2) Mori Bawah (Beneden Mori) atau yang lebih dikenal dengan Lembo.
Wilayah ini terbentang pada bagian timur dan tenggara dari wilayah Mori
Atas, merupakan dataran rendah yang luas sehingga disebut Lembo. (3)
Pada bagian selatan dari deretan pegunungan itu, yang dikategorikan
sebagai bagian ketiga dari wilayah Kerajaan Mori disebut daerah Danau Malili, atau juga dikenal dengan daerah Nuha. Di daerah ini terdapat tiga danau yaitu Danau Matano, Dana Moholona, dan Danau Towuti,
merupakan daerah yang sangat indah dan menawan karena dihiasi
gunung-gunung tinggi serta diantaranya terbentang dataran tinggi sampai
ke wilayah Nuha. Wilayah Nuha saat ini telah menjadi bagian dari
Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan.
Batas wilayah Kerajaan Mori yaitu bagian
utara berbatasan dengan wilayah Kerajaan Poso (sekarang Kabupaten Poso)
dan Tojo, bagian barat berbatasan dengan wilayah pemukiman kelompok suku
Pasa (Topasa), Lamusa (Tolamusa), dan Palande (Topalande) yang berada dalam dominasi kekuasaan Kerajaan Poso. Pada bagian selatan berbatasan dengan bekas wilayah Kerajaan Luwu (sekarang secara khusus berbatasan dengan wilayah Kabupaten Luwu Timur) dan wilayah Kerajaan Bungku. Pada bagian timur berbatasan dengan Teluk Tomori (Teluk Tolo) dan sebagian dari wilayah Kerajaan Bungku (saat ini menjadi Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali).
Suku Mori tergolong kelompok yang majemuk dan multikultural. Albert C. Kruyt (“Het Lanschap Mori” dalam : Medelingen van Wege het Nederlandsche Zendeling Genootschap, 1895) mengklasifikasikan
penduduk Kerajaan Mori dalam dua kategori. Kategori pertama adalah
penduduk pribumi, yaitu mereka yang telah lama menetap dan telah menjadi
warga Kerajaan Mori. Penduduk pribumi ini terbagi lagi menjadi 3
golongan, yaitu : Orang Mori asli, penduduk asli bukan orang Mori (suku-suku lain) yang mendami wilayah kerajaan, dan penduduk suku-suku yang berasal dari daerah lain
dan sejak berabad-abad yang lalu melakukan eksodus dan menetap di
wilayah Kerajaan Mori. Kategori kedua adalah orang asing. Kategori ini
menunjuk pada kelompok kaum yang datang dari luar Mori, bukan dengan
tujuan untuk menetap dan menjadi penduduk Mori. Mereka adalah
orang-orang yang bermata pencaharian sebagai peramu dan pedagang.
Kehadirannya didaerah ini berkaitan dengan perkembangan perdagangan
diwilayah Hindia Belanda, khususnya diluar Jawa dan Madura, yang pada
waktu itu ada kebijakan pemerintah kolonial membuka kawasan ini menjadi
kawasan pergadagangan bebas dan membuka beberapa pelabuhan sebagai
pelabuhan bebas pada tahun 1847. Dengan adanya kebijakan perdagangan
bebas ini maka terbukalah akses dengan pedagang-pedagang Bugis dan Cina
yang terus berdatangan ke wilayah Mori. Selain berdagang, juga mencari
rempah-rempah yang memang sangat banyak dikandung oleh kekayaan alam
Wita Mori. Dengan demikian maka terbuka juga peluang transaksi senjata
api antara Raja serta para Mokole dengan pedagang-pedagang Bugis dan
Cina ini, yang pada awalnya hanya sebagai hadiah dari para pedagang agar
supaya mereka dapat diterima serta leluasa melakukan aktifitas
niaganya.
Seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di
Nusantara ini tidak lepas dari peperangan, baik antar suku/kerajaan
maupun perang melawan Kolonial Belanda yang ingin menguasai serta
menjajah Bangsa Indonesia. Demikian pula dengan Kerajaan Mori, walaupun
hanya kerajaan kecil namun tercatat pula sejarah yang mengisahkan
tentang peperangan antar suku/kerajaan dan peperangan melawan Kolonial
Belanda. Sejak tahun 1670, Kerajaan Mori telah berupaya untuk
mempertahankan wilayah kekuasaannya dari Kerajaan-Kerajaan lain yang
ingin merampas serta menduduki Kerajaan Mori. Diantaranya, perang
melawan Kerajaan Luwu yang saat itu mengalami kekalahan bahkan Ratu
Wedange pemimpin pertama Kerajaan Mori sempat menjadi tawanan politik
Kerajaan Luwu. Selanjutnya perang melawan pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1856 yang dikenal dengan Perang Mori Pertama (Perang Ensaondau), dipimpin oleh Raja Tosaleko yang
pada saat itu telah mulai dapat menghimpun kekuatan setelah beberapa
kali melakukan pembenahan dari struktur pemerintahan sebelumnya yang
dianggap kurang memuaskan dalam mengurus kegiatan pemerintahan serta
pertahanan keamanan kerajaan. Dalam perang Ensaondau tersebut, Belanda
berhasil merebut dan mengibarkan benderanya di Benteng Ensaondau.
Pasukan Belanda berhasil menduduki Tompira dan Benteng Ensaondau,
membakar permukiman di Patongoa dan Wawontuko. Namun, ekspedisi pasukan
Belanda ini dianggap kurang memuaskan karena telah banyak menelan korban
dari pasukan militer serta mengeluarkan anggaran yang sangat besar, dan
nyatanya Kerajaan Mori tetap berjaya menjadi satu kerajaan merdeka dan
berdaulat penuh. Perang besar lainnya, yaitu Perang Mori Kedua (Perang Wulanderi) yang dipimpin oleh Raja Marunduh (Datu ri Tana) pada bulan Agustus 1907. Perang ini berakhir dengan kematian Raja Marunduh Datu ri Tana setelah
mendapat serangan dari pasukan Marsose di Benteng Wulanderi. Kematian
Raja Mori ini menimbulkan duka yang teramat dalam bagi rakyat Mori. Hal
ini menjadi titik terlemah bagi perjuangan rakyat Mori dalam
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Rakyat Mori dirundung duka
dan berkabung sehingga sangat sulit untuk kembali membangkitkan
semangat untuk meneruskan perlawanan. Pada akhirnya atas kesepakatan
bersama para Mokole dan Tadulako, seluruh daerah pertahanan mengibarkan
bendera putih sebagai tanda pernyataan menyerah. Dengan demikian pasukan
ekspedisi Belanda menyataka bahwa seluruh wilayah Kerajaan Mori telah
berhasil ditaklukkan dan dikuasai pada 20 Agustus 1907.
Dengan berakhirnya Perang Mori II, maka
Pemeintah Hindia Belanda melakukan penataan dengan menjadikan wilayah
Kerajaan Mori sebagai bagian dari wilayah pemerintahan langsung (government gebied) dan digabungkan pada wilayah pemerintahan Sulawesi dan Daerah Bawahannya (Government van Celebes en Onderhoorigheden), yang
pusat pemerintahannya di Makassar. Selanjutnya, masing-masing bekas
Kerajaan Mori dan Bungku berkedudukan sebagai daerah Swapraja. Daerah
Swapraja Mori dibagi dalam 4 distrik, yaitu Distrik Ngusumbatu,
Sampalowo, Kangua dan Soyo. Kepala Pemerintahannya disebut Kepala
Distrik. Pada tahun 1938, Pemerintah Hindia Belanda melakukan
reorganisasi struktur pemerintahan dan menghasilkan keputusan pada tahun
1942 bahwa wilayah Swapraja Mori dijadikan 3 distrik, yaitu : Distrik
Tomata (berpusat di Tomata), Distrik Ngusumbatu (berpusat di Tinompo) dan Distrik Petasia (berpusat di Kolonodale).
Sejak diterbitkannya Undang-Undang RI
Nomor 52 Tahun 1999, seluruh wilayah permukiman penduduk Suku Mori kini
berada dalam Wilayah Pemerintah Kabupaten Morowali (hasil pemekaran
wilayah Kabupaten Poso), yang terpusat di 7 Kecamatan dari 16 Kecamatan
yang ada, yaitu : (1) Kecamatan Mori Atas (kedudukan pemerintahan di Tomata), (2) Kecamatan Mori Utara (kedudukan pemerintahan di Mayumba), (3) Kecamatan Lembo (kedudukan pemerintahan di Beteleme), (4) Kecamatan Lembo Raya (kedudukan pemerintahan di Petumbea), (5) Kecamatan Petasia (kedudukan pemerintahan di Kolonodale), (6) Kecamatan Petasia Timur (kedudukan pemerintahan di Bungintimbe), Kecamatan Soyo Jaya (kedudukan pemerintahan di Lembah Sumara).
(Situs Istana Raja Mori, lokasi Kolonodale??)
Melihat umur dan struktur bangunan , kemungkinan ini adalah kantor pemerintahan kolonial yang pertama di Petasia (red)
Melihat umur dan struktur bangunan , kemungkinan ini adalah kantor pemerintahan kolonial yang pertama di Petasia (red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar