Sejarah Kerajaan Bungku 1
Tak banyak orang Indonesia yang mengetahui wilayah Bungku di
Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Padahal, wilayah yang terdiri dari
berbagai pulau ini memiliki pemandangan alam yang indah, dengan penduduk
yang memiliki berbagai latar belakang agama dan suku yang berbeda.
Selain suku Bungku sendiri, wilayah ini antara lain ditinggali oleh oleh
orang-orang dari suku Mori, Kaili, Menui Bugis, Buton, Ambon, Manado,
Gorontalo, Makassar, Toraja, dan Bajo.
Kata “Bungku” sekarang ini memiliki beberapa makna (pengertian)
antara lain: pertama menunjuk kepada satu etnis dari dua belas etnis
yang mendiami Provinsi Sulawesi Tengah. kedua menunjuk kepada suatu
wilayah eks landschap Tambuku/Tombuku (Bungku) yang merupakan satu
kesatuan geografis terletak di Kabupaten Morowali dan membentang dari
Kecamatan Menui Kepulauan sampai dengan Kecamatan Mamo Salato.
Menurut cerita yang berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat
Bungku bahwa, kerajaan Bungku dahulu diperintah oleh raja-raja yang
berasal dari keturunan leluhur yang sama mulai dari raja pertama sampai
raja ke 13 sebagai raja terakhir hingga Indonesia merdeka. Raja pertama
Kerajaan Bungku adalah Marhum Sangiang Kinambuka. Ayahnya bernama Sangia
Oheo dan ibunya bernama Fengguluri. Adapun istri dari Sangiang Kinambuka
adalah Wendoria gelar Apu Boki, keturunan Mokole Lere di Routa. Sangiang
Kinambuka mempunyai dua orang saudara, bernama Fengkoila bergelar Sangia
I Nato memerintah di Kendari dan Feluo Sangia Felungku memerintah di
Kerajaan Luwu Palopo.
Kerajaan Bungku berdiri sebagai akibat dari sikap kesewenang-wenangan
pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengikat seluruh kerajaan yang ada
di wilayah Sulawesi Tengah dalam sebuah perjanjian yang hanya
menguntungkan sebelah pihak. Kerajaan-kerajaan yang menolak perjanjian
tersebut akan diserang dengan cara-cara kekerasan oleh Belanda dan
kemudian wilayah kerajaannya dipecah-pecah. Salah satu kerajaan yang
menolak perikatan itu adalah Kerajaan Mori, yang kemudian oleh Belanda
dipecah menjadi Kerajaan Mori dan Kerajaan Bungku.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, ketika kekuasaan penjajahan
Belanda sudah semakin kuat, Pulau Sulawesi pada tahun 1905 oleh Belanda
dibagi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan
Provinsi Sulawesi Utara. Batas kedua provinsi tersebut adalah Pegunungan
Tokolekayu di sebelah selatan Danau Poso. Provinsi Sulawesi Selatan
dengan ibu kotanya Makassar dipimpin oleh seorang gubernur dan Provinsi
Sulawesi Utara dengan ibu kotanya Manado dipimpin oleh seorang residen.
Gubernur dan residen secara organisatoris berada langsung di bawah
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia.
Pada periode 1903-1918, daerah Sulawesi Tengah yang kita kenal
sekarang ini sebagian termasuk dalam wilayah Keresidenan Sulawesi
Selatan dan sebagian lagi termasuk wilayah Keresidenan Sulawesi Utara.
Yang termasuk wilayah Sulawesi Selatan (Oost Celebes) adalah
Onderafdeling Kolondale, yang terdiri dari Kerajaan Mori dan Bungku.
Keberadaan masyarakat Bungku sejak tahun 1622 sudah dikenal di Eropa
terutama oleh orang Portugis dengan kata “Tobuguo”. Nama ini
diperkenalkan oleh Hessel Gerrits dalam buku “La Kartographie
Neederlandaise de la Celebes” sementara dalam literatur Belanda terdapat
dua nama secara bergantian digunakan untuk menyebut Bungku yaitu
“Tambuku” dan “Tombuku” kemudian hingga kini belum diketahui sejak kapan
berubah menjadi “Bungku” yang kita kenal sebagai salah satu bagian dari
wilayah Kabupaten Morowali Sekarang.
Sayangnya, meski terbilang kerajaan muda karena baru berdiri pada
awal abad ke-20, sejarah Kerajaan Bungku dan berbagai informasi yang
berkaitan dengannya sangat sedikit sekali diketahui oleh bangsa ini.
Padahal, tak dapat dimungkiri, Kerajaan Bungku merupakan mata rantai
dari perjalanan panjang sejarah bangsa ini. Dan, informasi sejarah lokal
semacam itu memiliki nilai penting bagi bangsa ini sebagai pijakan
untuk menata masa depan yang lebih baik.
Sumber : http://morowalinews.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar