suku Wana
pic: foto.detik.com
|
Suku Wana ini oleh pemerintah setempat digolongkan sebagai komunitas adat terpencil, yang mana di daerah pemukiman suku Wana belum ada fasilitas kesehatan dan sekolah.
Suku Wana disebut juga sebagai Tau Taa Wana yang berarti "orang
yang tinggal di hutan". Sedangkan mereka lebih suka menyebut diri mereka
sebagai Tau Taa, atau "orang Taa".
Suku Wana berbicara dalam bahasa Taa. Bahasa Taa sendiri adalah bahasa
yang diucapkan oleh suku Taa. Dilihat dari bahasa yang diucapkan oleh
suku Wana ini, menunjukkan bahwa suku Wana dengan suku Taa yang berada
di kabupaten Banggai dan kabupaten Tojo Una-Una, kemungkinan besar
adalah kerabat sejak masa lalu.
Pemukiman suku Wana berada di hutan pedalaman, yang mereka sebut sebagai
Lipu. Mereka bermukim di beberapa Lipu, yaitu Lipu To Oewaju, To
Kajumarangke, To Kajupoli, To Posangke, To Bulang, To Langada, To
Untunue dan lain-lain.
Asal usul suku Wana, menurut penuturan masyarakat suku Wana, mengatakan
bahwa dahulunya mereka berasal dari wilayah sebelah tenggara Teluk Bone.
Sedangkan menurut dugaan para peneliti, suku Wana ini hadir di wilayah
ini melalui gelombang migrasi sejak ribuan tahun sebelum masehi. Suku
Wana atau suku To Wana ini termasuk suku tertua di Sulawesi, ada cerita
di Sulawesi Tenggara bahwa suku Towana adalah termasuk salah satu suku
pertama yang menghuni daratan Sulawesi, yang telah ada di Sulawesi sejak
8000 tahun yang lalu pada zaman Mezolithicum.
Versi lain menyebutkan bahwa dari struktur fisik, budaya dan bahasa,
suku Wana termasuk dalam rumpun suku “Koro Toraja”, yang pada jalur
migrasinya berawal dari muara antara Kalaena dan Malili, yang menyusuri
sungai Kalaena dan terus ke utara melewati barisan pegunungan Tokolekaju
dan sampai di bagian tenggara pesisir Danau Poso. Tidak merasa cocok di
tempat ini, mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur laut menyisir
lereng gunung Kadata menuju dataran Walati, di lembah Masewa. Mereka
terus bergerak ke arah timur menyusuri sungai Kuse melewati hulu sungai
Bau, kemudian mereka ke arah timur dan berhenti di hulu sungai Bongka
(Kaju Marangka). Di tempat baru ini lah mereka akhirnya menetap dan
membangun pemukiman, dan terbentuklah komunitas suku Tau Taa Wana.
A.C Kryut, seorang peneliti dari Belanda, dalam artikelnya yang berjudul
De To Wana op Oost-Celebes (1930), menyebutkan sebagian imigran
tersebut menyebar dan menjadi 4 kelompok suku yang memiliki dialek
bahasa yang berbeda, yaitu:
- Suku Burangas, berasal dari Luwuk dan bermukim di kawasan Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
- Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian bermukim di Manyoe, Sea, sebagian di Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
- Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di kawasan Kajupoli, Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo, dan Salubiro;
- Suku Untunue, mendiami Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi. Kelompok suku ini sampai sekarang masih menutup diri dari pengaruh luar (Yayasan Sahabat Morowali, 1998).
Lipu, pemukiman suku Wana pic: earth day |
Menurut tetua-tetua adat suku Wana, mereka meyakini bahwa nenek moyang
mereka dari satu asal, yaitu dari Tundantana, sebuah tempat di wilayah
Kaju Marangka, yang berada dalam kawasan Cagar Alam (CA) Morowali.
Tundantana diyakini sebagai tempat manusia pertama yang dititiskan dari
langit dan kemudian melahirkan nenek moyang Suku Wana.
Menurut cerita rakyat suku Wana, mereka meyakini bahwa mereka berasal
dari seorang perempuan bernama Ngga yang diturunkan ke bumi oleh Pue
(Tuhan) dan seorang lelaki bernama Mbakale yang menitis dari sebatang
kayu besar bernama Kaju Paramba‘a. Keduanya kemudian kawin dan
melahirkan dua orang anak. Anak pertama bernama Manyamrame (perempuan),
dan anak kedua bernama Manyangkareo (laki-laki). Setelah dewasa,
Manyamrame dan Manyangkareo kemudian dikawinkan. Dari perkawinan
tersebut, lahir tujuh orang anak, masing-masing: Jambalawa (perempuan),
Sansambalawa (laki-laki), Lapabisa (perempuan), Vuampuangka (laki-laki),
Pini (perempuan), dan Adimaniyu (perempuan) (Dinas Kesejahteraan Sosial
Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, 2003).
Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Wana menyebut tanah warisan leluhur
mereka dengan “tana ntautua” atau tanah para leluhur (Yayasan Sahabat
Morowali, 1998).
“… Di dalam sejarahnya, orang tua dulu menganggap hutan dan tanah
sebagai ayah dan ibu. Hutan atau pohon-pohon (propo) itu ayah dan tanah
itu ibu. Sehingga kami Tau Taa mengelola hutan dan tanah harus dibuatkan
kapongo (sesajian) mampasimang. Tujuannya permisi kepada ayah dan ibu
dan menghindari musibah…” (dalam Camang, Nunci, dan Tampubolon, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar